[dikutip dari Rubrik PROFESI, Majalah d’Maestro, edisi Juni 2004]
Oleh Dwi Ratih
Oleh Dwi Ratih
di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
sangat meriah. Saat itu adalah sesi akhir
kegiatan belajar hari itu, saatnya mengevaluasi
target capaian murid yang dirumuskan sendiri
oleh masing-masing murid setiap minggunya.
Suasana riuh memenuhi ruang kelas berukuran sekitar 50 meter persegi itu. Murid-murid yang hanya terdiri dari 10 orang itu berebut memberikan penilaian terhadap target mingguan teman-temannya.
Suasana makin heboh karena ada seorang murid yang tidak terima dengan penilaian teman-temannya. Adu argumentasi pun terjadi. Sang guru dengan berbagai jurus pendekatan, mencoba memberi penjelasan kepada si murid kenapa ia tidak mencapai target untuk ”tidak memancing perhatian teman-teman di kelas”. Tetapi, si murid tetap bersikeras tidak melakukan hal-hal yang memancing perhatian. Bahwa perbuatan membuka diari sebelum waktunya tidak membuat teman-temannya mengalihkan perhatian kepadanya. Akhirnya adu argumentasi diakhiri, dan kata sepakat didapati. Si murid dianggap tetap dinilai mencapai target, tetapi diminta untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Begitulah keseharian yang dihadapi Untung S. Drazat. Murid-murid yang dihadapi guru kelahiran Cirebon itu memang bukan seperti umumnya anak-anak lain. Mereka adalah anak-anak yang mengalami kesulitan belajar atau learning disablitities (LD) karena mengalami dyslexia, dysgraphia, dan dyscalculia, menyandang attention deficit disorders (ADD) atau attention deficit hyperactivitiy disorders (ADHD), dan autisme.