Jumat, 22 Agustus 2008

BAHASA DAN BUDAYA

“Chapter 3 – Language and Cultre”:
Diterjemahkan oleh Untung S. Drazat 
dari Language Teaching --A Scientific Approach
Karya Robert Lado
 
Bahasa tidaklah berkembang dalam ruang hampa. Bahasa adalah bagian dari suatu kebudayaan dan menjadi bagian terpenting dalam komunikasi masyarakatnya. Bahasa adalah salah satu unsur dari budaya sekaligus menjadi pusat dalam jalinan kerja antarunsur tersebut.

Perbedaan kultural (makna budaya) merupakan salah satu masalah dalam mempelajari bahasa asing. Orang Eskimo, misalnya, mempunyai banyak kata yang berbeda untuk “salju”. Hal ini karena pengalaman dan pengamatan mereka yang cermat terhadap salju. Karena salju penting bagi kehidupan mereka. Jadi, sebagai alat komunikasi, bahasa menyediakan beragam kata dan frasa yang spesifik untuk sesuatu yang dianggap penting dan sering ditemukan dalam suatu lingkup budaya.

Sebuah kamus yang amat lengkap akan berisi kata dan frasa yang meliputi pula idiom, peribahasa, nas­kah kepahlawanan, mitos, legenda, atau dongeng-dongeng termasyhur, kepercayaan, dan seterusnya. Artinya, kamus tersebut mencakup unsur-unsur lain dari buadayanya.

A. Budaya dan Antroplogi

1. Budaya

Sejak awal manusia adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat. Dalam perkembangan­nya, perilaku dan bicaranya pun terpola, sehingga memudahkan antaranggota masyarakat untuk menjalinan komunikasi dan interaksi sosialnya. Bila pola perilaku, pola wicara, dalam berpikir, dan berperasaan mencapai titik kesera­gaman, sehingga bisa dibedakan dengan pola masyarakat lain, maka jadilah itu sebagai suatu budaya.
Oleh karenanya, bila seseorang mengadakan k0ontak dengan orang yang berbeda dalam kebudayan, maka ia akan menemukan perbedaan-perbedaan dalam bahasa, busanaserta ciri perilakunya. Misalnya antara orang Jepang atau orang Amerika Serikat, yang rasdan budayanya berbeda. Pola perilakunya pun tampak berbeda pula.


Seorang pengamat pada umumnya tidak cermat terhadap nuansa perbedaan budaya yang kurang mencolok, misalnya pada segi bahasa, busana, atau boga. Ia cenderung menganggap bahwa perbedaan-perbedaan yang tak begitu tampak sebagai itu tidak ada. Memang, perbe­daan baru akan tampak bila kita mengamatinya secara cermat dan fokus.

2. Antropologi Budaya

Antropologi budaya adalah salah satu cabang dari ilmu antropologi yang berupaya menggambarkan struktur suatu budaya dengan selengkap dan secermat mungkin. Sebagaimana linguistik,tugas antropologi budaya dilandaskan pada postulat-postulat tertentu dan menggunakan teknik deskripsi tertentu dalam mengumpulkan dan menguji data budaya, serta mengidentifikasi unit-unit dan struktur budaya. Jadi, antropologi budaya pada prinsipinya berupaya mengidentifikasi struktur budaya.

3. Antropologi Budaya dan Guru bahasa

Karena dalam praktik mengajarnya guru bahasa sering menyinggung masalah budaya, khususnya dalam konteks berkomunikasi maupun dalam konteks budaya pada umumnya, maka guru bahasa seyogianya terbuka terhadap pada informasi dan beruoaya memahami antropologi budaya.
Kendati demikian, bukan berarti guru bahasa harus mengajarkan antropologi budaya atau harus menjadi antropolog terlebih dahulu sebelum mengajar. Yang penting di sini adalah pemahaman bahwa bahasa merupakan bagian dari budaya, dan bahasa mengandung makna sesuai latar belakang budayanya. Peranan antropologi dalam pengajaran bahasa adalah agar penyajian dan cakupan maknanya lebih tepat sasaran dan mendalam. Pengembangan pendidikan bahasa yang efektif bagi individu dan masyarakat akan lebih mudah tercapai karenanya.

B. Kandungan Budaya dalam Mempelajari Bahasa Asing

1. Tujuan: Ekspresi dan Pemahaman

Tujuan utama mempelajari bahasa asing adalah agar kita mampu menggunakan, memahami makna lugas dan kiasan, serta memahami pelafalan dan tulisan bahasa asing tersebut, sesuai dengan budaya sebagaimana gagasan dan performanya. Definisi ini meliputi perlunya makna memahami makna asli dan tafsiran dari makna aslinya, sekaligus pula cara melafalkannya.
Ada tiga aliran yang mempengaruhi proses memepajari bahasa dipandang dari sudut pandang kandungan budayanya, yaitu:
a. Klise Romantik yang mengangkat imajinasi siswa pada budaya dari bahasa target (bahasa asing yang sedang dipelajari).
b. Sastra dan karya besar dari bahasa target[1]
c. Studi budaya sebagai sistem yang terstruktur dalam bentuk pola perilaku tertentu pada seseorang.

2. Kesalahan-kesalahan Klise

Adalah klise kalau seseorang mengatakan bahwa ia mempelajari bahasa asing dengan alasan untuk menghormati budaya dari bahasa yang dipelajarinya tersebut. Namun demikian, “kekeliruan” semacam ini dapat dilawan dengan cara yang klise pula. Misalnya dengan cara mengajar bahasa Spanyol bergaya Meksiko dengan mengenakan topi sombrero, berdansa tango, dan seterusnya.
Namun, bila siswa diajari bahasa asing dengan cara seperti itu, kedua aspek—yaitu bahasa dan budayanya—justru akan terabaikan. Cara seperti itu juga tidak mengembangkan pemahaman.
Yang terpenting sebenarnnya adalah bahwa kita tidak hanya menolak cara klise tersebut, melainkan kita mementingkan mempelajari muatan budayanya yang asli. Perlu dicatat di sini akan pentingnya pemahaman komunikasi lintas-budaya, sehingga anggapan-anggapan dan interpretasi yang salah dapat dihindari.
Pemahaman struktur dari budaya target dan kesulitan lintas-budaya menjadi penting karena deskripsi sebagian besar budaya dunia tampakkg utuh. Kuranglah tepat bila guru mengabaikan budaya target. Begitu juga apabila guru hanya melakukan analisis dan perbandingan dengan bahasa atau budayanya sendiri.

2. Sastra dan Karya-karya Besar

Sepanjang studi bahasa asing dipandang sebagai upaya perolehan akses dalam tujuan pendidikannya, maka sastra klasik akan kurang mendapat perhatian. Karena, sastra hanyalah bagian dari “budaya”. Padahal istilah budaya digunakan secara luas—dalam hal ini, ya meliputi sastra juga!
Di abad kedua puluh ini, revolusi transportasi dan komunikasi membawa manusia untuk berhubungan dengan budaya lain. Begitu pula halnya dengan pembelajar bahasa asing, dipermudah dengan kondisi tersebut. Termsuk di dalamnya adalah faktor-faktor budaya seperti seni, ilmu pengetahuan dan tekni\ologi. Arus budaya dalam sastra klasik diperluas agar juga mencakup karya-karya besar dalam bidang lain. Tetapi pendekatan sastrawi klasik cenderung menafikan adanya relevansi dan pengaruh dari cara hidup seseorang—secara budaya, terhadap proses pembelajaran bahasanya.
Kemudian, yang muncul di permukaan adalah adanya konflik antara studi bahasa lewat sastra di satu pihak dan pandangan antropologis mengenai budaya pada pihak lain. Sudut pandang antropologis bersikukuh bahwa pandangannya penting untuk bisa memahami sastra. Sementara pandangan sastra beralasan bahwa sastra memiliki validitas yang universal.
Padahal, dalam kenyataannya, dua sisi pandang yang berbeda itu bisa saling melengkapi. Karena yang diperlukan dalam kontak dengan sastra adalah terpeliharanya objektivitas. Sebab, yang tertuang dalam sastra tak seluruhnya sesuai dengan maksud pengajaran bahasa.
Dari sini diasumsikan bahwa pengajaran bahasa merupakan bagian dari pengembangan pendidikan pribadi siswa secara umum. Tak sekadar sebagai bagian dari teknik pengajaran sebagaimana yang terungkap dalam kritik antropologi-vs-sastra di atas. Pemahaman secara antropologi memang penting untuk memahami pola wicara native speaker (pengguna asli suatu bahasa). Namun upaya memahami karya-besar sastra dalam konteks budaya merupakan hal yang penting pula.
Haruslah dibedakan antra informasi teknis and non-teknis. Informasi teknis adalah sesatu yang penting dalam menentukan suatu cara kerja. Setiap informasi adalah teknis. Dalam hal ini, misalnya seorang kritikaus sastra harus mengetahui pembagian sastra dan kritik secara umum—sesuatu yang tidak diphami secara luas di kalangan awam. Sementara itu, apresiasi sastra adalah informasi non-teknis. Menuntut seseorang untuk mempelajari bahasa asing dibutuhkan pengetahuan teknis, yang dalam pandangan sastra dianggap keliru. Sedangkan menuntut seseorang untuk mencapai tingkatan tertentu dalam apresiasi sastra masih bisa dimungkinkan.

3. Pandangan Linguitik-Kultural

Pada dasarnya, tujuan kita memahami unit-unit makna kultural adalah guna mencapai pemahaman pada makna kata, idiom, dan peribahasa sebagaimana yang disajikan oleh sebuah karya sastra yang masyhur. Unit-unit makna ini merupakan ELMUs (Elementary Meaning Units= unit-unit makna dasar) dalam suatu budaya dan bahasa yang berbeda satu sama lain. Misalnya, bahasa Spanyol, membuat perbedaan semantis untuk nama organ tubuh manusia dan hewan. Pata berarti kaki hewan sedangkan pierna adalah kaki orang. Punggung manusia disebut lomo, adapun punggung binatang dinamai espalda. Sementara itu, dalam bahasa Jerman dibedakan antara nama mulut manusia dan hewan. Untuk manusia disebut Mund sedangkan untuk hewan adalah Maul.
Keberagaman kata orang Eskimo mengenai salju juga merupakan contoh ELMUs dalam budayanya. Contoh-contoh lain terdapat dalam bahasa Jepang, Perancis dll. Yang jelas, pemahaman mengenai ELMUs ini diperlukan dalam berkomunikasi secara utuh dengan pemahaman murni bahasa asli tersebut. Pemahaman yang sama juga diperlukan untuk memahami karya sastra pada bahasa asing.
Dengan demikian, pemahaman akan ELMUs lebih terjamin lewat bahasa aslinya ketimbang dari hasil terjemahannya. Karena kita akan kehilngan warna dan nuansa bila kita mengandalkan hasil terjemahan. Kata pata dan pierna, misalnya, tak bisa diterjemahkan begitu saja sebagai “kaki binatang” dan “kaki manusia”.
Para anggota suatu kebudayaan melakukan sesuatu dalam pola tertentu dan punya andil tertentu pula, serta secara umum memahami tujuan dan maknanya. Kesamaan antaranggota budaya meliputi bentuk pola tindak, pemahaman makna-makna utama,dan batasan-batasannya dalam tempat dan kondisi (baik dalam bentuk maupun makna) yang terjalin dan menjadi bagian dari dirinya.
Bila seseorang dari suatu budaya mengobservasi budaya orang lain, tanpa sadar ia cenderung mempersamakan (kalau tidak memperbandingkan) objek yang diobservasi dengan pola perilaku dirinya. Oleh karena itu, ia dapat salah paham terhadap budaya orang lain.

C. Pola Budaya dan Pola Individu

Perlu diketahui bahwa makna dan pola budaya merupakan dua jenis yang berbeda dalam suatu kebudayaan, yakni sebagai sub-budaya dan individu.

1. Variasi-vari Subbudaya dan Kebebasan Individual
Bahasa Inggris,misalnya, mempunyai beragam perbedaan sesuai subbudaya yang dikarenakan perbedaan wilayah penggunanya. Oleh karena itu, ada bahasa Inggris-British, Inggris-Amerika, Inggris-Australia, dan seterusnya. Selanjutnya bahasa Inggris-Amerika pun dapat dipilah lagi, untuk Amerika bagian barat, tengah, selatan, utara, dll. Perbedaan soial dan level pendidikan juga merupakan variasi subbudaya. Sebagian besar variasi budaya tidak boleh diabaikan bila mereka akan mempelajari bahasa Inggris. Misalnya budaya Spanyol, Perancis, Arab, Cina, Rusia, dll.
Di samping variasi kelompok, individu sebagai anggota budaya juga turut pula mendukung terhadap seluruh atau sebagian dari pola budaya. Dan sebaliknya, budaya juga mempengaruhi individu secara sebagian maupun keseluruhan. Bisa saja individu menolak pola budaya sebagai cara menegaskan individualitasnya.

2. Relativitas Budaya dan Nilai Etika

Dalam menggambarkan budaya secara ilmiah, orang biasanta menghindari penilaian tanpa menelaah asal-muasalnya. Adalah bahaya bila menilai jelek hanya karena berbeda. Di Inggris misalnya kendaraan berjalan di sebelah kiri, sedangkan di beberapa negara lain di sebelah kanan. Sangatlah naif bila orang Inggris keliru dalam berkendaraan.



[1] Target di sini dimaknai sebagai sesuatu yang bukan milik asal dan sedang dipelajar. Dengan demikian bahasa target aatau bahasa kedua adalah bahasa asing yang sedang dipelajari.

Tidak ada komentar: