Jumat, 23 Januari 2009

MENGABDI DEMI ANAK-ANAK ISTIMEWA



[dikutip dari Rubrik PROFESI, Koran Tempo Minggu, 3 Juni 2007]
Oleh Efri Ritonga

Tantangannya adalah menarik keluar potensi
anak-anak yang memiliki kesulitan belajar.

Di sebuah ruang serbaguna yang tak seberapa luas, delapan orang murid kelas I dan II Sekolah Dasar Pantara sedang berlatih menyanyikan lagu Burung Hantu. Mereka dibimbing dua orang guru dan dua pemain musik. ”Kami berlatih untuk acara perpisahan murid kelas VI,” kata Untung Sudrajat, Kepala SD Pantara, Kebayoran Baru Jakarta, Kamis (31/5/2007) lalu.

Dilihat
sepintas tidak ada yang aneh pada anak-anak lucu itu. Tapi, setelah beberapa lama, anggota kelompok olah vokal amatiran ini mulai berserakan. Dua orang anak, yang segera diikuti anak-anak lainnya, berlari keluar dari barisan dan bermain di salah satu sudut ruangan. Sebentar-sebentar, Untung dan rekan-rekannya meminta mereka kembali ke tempat masing-masing.

Kembali ke barisan bukannya menyanyi dengan tertib, beberapa anak melompat-lompat setiap lirik kuk kuk, kuk kuk... dinyanyikan. Ada pula yang mendorong-dorong temannya atau bernyannyi dengan nada lebih tinggi dari nada seharusnya. Karena sudah dekat dengan waktu bubaran sekolah, pukul 11.45


WIB, Untung menyudahi latihan dan membawa tiga murid kelas I ke ruang kelas untuk dilakukan evaluasi harian.

Di dalam kelas, Fathan, Khalisah, dan Klarissa—nama kecil ketiga bocah tersebut—mendapat evaluasi mengenai kegiatan mereka seharian ini, terutama mengenai perilaku mereka. ”Fathan, bagaimana targetmu supaya bicara pelan-pelan? Sudah tercapai belum?” tanya Untung dengan lembut.

Berikutnya Khalisah yang ditanya soal target yang diberikan untuk ’cepat dalam mengerjakan tugas’, sedangkan Klarissa ditanya targetnya untuk ’bisa berkonsentrasi saat belajar’.

Setelah semua murid dievaluasi, Untung memberi nilai yang unik. Bukan angka, melainkan simbol berupa gambar ekspresi orang tersenyum, datar, dan cemberut untuk pencapaian murid hari itu. Semuanya dilakukan dalam suasana informal. Murid-murid juga tidak dipaksa terus menerus duduk di bangku mereka. Pukul 12.20 ketiga murid itu pamit pulang setelah terlebih dahulu berdo’a yang dipimpin Fathan.

Murid-murid SD Pantara memang berbeda dengan murid-murid di sekolah biasa. Mereka adalah anak-anak dengan kesulitan belajar. Ada berbagai macam kesulitan belajar di sekolah ini, seperti disleksia (kesulitan membaca), disgrafia (kesulitan menulis), diskalkulia (kesulitan berhitung), rentang konsentrasi yang terbatas, dan hiperaktif. ”Dari kelas I sampai kelas VI ada 54 siswa dengan 26 guru,” ujarnya.

Untung berkisah, keterlibatannya di dunia pendidikan ini terjadi tanpa sengaja. Ia menamatkan sekolah menengah atas di Cirebon, Jawa Barat, pada 1989. Pada tahun itu pula ia mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Sayang tidak lulus dan urung merantau karena orangtuanya belum rela melepas anaknya terbang terlalu jauh.

Di tengah kegundahan hatinya, Untung menerima tawaran seorang ulama untuk mengajar Bahasa Indonesia dan Geografi di sebuah madrasah tsanawiyah di kampung halamannya, di Cirebon. Pada tahun 1993 ia mendapat kesempatan meneruskan pendidikan di Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa Negeri (SGPLBN) di Bandung, Jawa Barat.


Entah sial entah beruntung, setahun kemudian SGLPB itu dilikuidasi dan dilebur ke dalam Jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) IKIP Bandung, sehingga jadilah ia mahasiswa IKIP Bandung. Di jurusan itu ia mendapat pendidikan mengenai teknik pengajaran untuk anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan anak berbakat. ”Problem kesulitan belajar hanya disenggol dalam dua-tiga kali perkuliahan,” tuturnya.


Sembari kuliah ia terus mengajar les privat dan terlibat mengelola kinik terapi untuk anak bern
ama Klinik Gema di Bandung milik seorang dosennya. Di klinik itu ia memperkaya wawasannya mengenai pendidikan untuk anak-anak dengan kesulitan belajar. Kuliah pun ia rampungkan pada 1999 dengan titel sarjana pendidikan.

Pada 2000 Untung mengajukan lamaran ke SD Pantara. Lamarannya diterima dan mulai mengajar pada Agustus tahun y
ang sama. Di yayasan Pantara, laki-laki 36 tahun ini mendapat tambahan ilmu pengajaran anak-anak berkesulitan belajar lewat berbagai pelatihan dan seminar. Pada 2003 ia diangkat menjadi wakil kepala sekolah dan 2006 menjadi kepala sekolah.

Selama tujuh tahun bergelut dalam bidang pendidikan anak berkesulitan belajar, Untung mengenyam pengalaman menyedihkan dan menyenangkan. Sedihnya, kata dia, jika dalam pertemuan tiga bulanan dengan orangtua murid terjadi kesenjangan antara target orangtua dan target sekolah mengenai pencapaian prestasi anak. ”Sekolah menilai target sudah tercapai, tapi ternyata target orangtua lebih tinggi,” katanya.


Ketidaksesuaian antara target orangtua dan sekolah biasanya terjadi pada awal-awal masa sekolah. Pada masa itu orangtua masih berada dalam masa penolakan. Sebaliknya, kata dia, jika target sekolah d
i atas target orangtua, Untung merasa sangat gembira. ”Tantangan yang setiap hari kami hadapi adalah menemukan cara mengeluarkan potensi anak-anak istimewa ini,” katanya.

Untung merasa pendapatannya sebagai guru cukup untuk menopang kehidupannya bersama Suryani, 33 tahun, isterinya. Di SD Pantara, kisaran gaji guru berada pada 1,3 sampai 3 juta perbulan. Selain mengajar di SD Pantara, ia memiliki kesibukan lain, yaitu mengajar di lembaga Pendidikan Guru Taman Kan
ak-kanak Islam Husnul Fikri di Tambun, Bekasi. [Efri Ritonga].

3 komentar:

Unknown mengatakan...

aja klalen isi dokumentasi ne blok kliwon


aja klalen daearh kelahiran
tampilaken dokumen batur2 asli sindanglaut, kliwon

Unknown mengatakan...

bos kita warga blok kliwon aja di klalen aken kudu di tampilaken ning blog ke

Untung S. Drazat mengatakan...

@Kang Wawan;
Warga Blok Keliwonkah kau? Sebelah mana?

Doakan, ya agar materi tentang Sindanglaut dan Blok Keliwon, secepatnya bisa diupload.