Jumat, 23 Januari 2009

UNTUNG S. DRAZAT: MENYIAPKAN ANAK AUTIS


[dikutip dari Rubrik PROFESI, Majalah d’Maestro, edisi Juni 2004]
Oleh Dwi Ratih

Siang itu suasana kelas V di SD Pantara
di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
sangat meriah. Saat itu adalah sesi akhir
kegiatan belajar hari itu, saatnya mengevaluasi
target capaian murid yang dirumuskan sendiri
oleh masing-masing murid setiap minggunya.

Suasana riuh memenuhi ruang kelas berukuran sekitar 50 meter persegi itu. Murid-murid yang hanya terdiri dari 10 orang itu berebut memberikan penilaian terhadap target mingguan teman-temannya.

Suasana makin heboh karena ada seorang murid yang tidak terima dengan penilaian teman-temannya.
Adu argumentasi pun terjadi. Sang guru dengan berbagai jurus pendekatan, mencoba memberi penjelasan kepada si murid kenapa ia tidak mencapai target untuk ”tidak memancing perhatian teman-teman di kelas”. Tetapi, si murid tetap bersikeras tidak melakukan hal-hal yang memancing perhatian. Bahwa perbuatan membuka diari sebelum waktunya tidak membuat teman-temannya mengalihkan perhatian kepadanya. Akhirnya adu argumentasi diakhiri, dan kata sepakat didapati. Si murid dianggap tetap dinilai mencapai target, tetapi diminta untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.

Begitulah keseharian yang dihadapi Untung S. Drazat. Murid-murid yang dihadapi guru kelahiran Cirebon itu memang bukan seperti umumnya anak-anak lain. Mereka adalah anak-anak yang mengalami kesulitan belajar atau learning disablitities (LD) karena mengalami dyslexia, dysgraphia, dan dyscalculia, menyandang attention deficit disorders (ADD) atau attention deficit hyperactivitiy disorders (ADHD), dan autisme.

”Mereka adalah anak-anak yang mengalami gangguan perhatian, tidak bisa fokus ke satu hal. Belum selesai mempersepsi, memahami satu objek, perhatian mereka sudah pindah ke objek lain. Karena masalah perhatiannya ini, mereka mengalami gangguan dalam mempersepsi. Hal ini menyebabkan pemahamaannya terbatas dan tidak utuh. Akhirnya, banyak pelajaran tertinggal. Mengingat pemahaman itu melalui proses melihat, mendengar, meraba. Padahal di kelas, pengalaman paling banyak diperoleh melalui melihat, mendengar, dan melakukan. Dan, itu yang sangat minim pada mereka,” papar Untung, yang juga menjabat sebagai Wakil Kepala SD Pantara.

Menurut pria yang gemar membaca ini, hambatan dalam mempersepsi dan memahami suatu peristiwa secara utuh itulah yang menyebabkan murid yang tadi protes; ia sulit memahami bahwa perbuatannya, yang tergesa-gesa membuka diari, membuat perhatian teman-temannya beralih dan terganggu. ”Jadi, mereka kadang-kadang hanya ingat ujungnya saja. Misalnya, ada seorang murid mengganggu temannya, dan karena kesal si temannya menonjok dia. Lalu murid ini mengadu kepada guru bahwa ia ditonjok temannya. Ia tidak sepenuhnya paham kalau ia ditonjok karena mengganggu teman,” papar pria yang sudah menangani anak-anak berkesulitan belajar sejak tahun 1997.

Tepatnya, ia menangani mereka sejak masih kuliah di IKIP Bandung. ”Ketika itu saya menjadi salah satu guru pembimbing di pusat terapi milik dosen saya, Bapak Sugiarmin. Itulah awal saya berkenalan dengan bidang LD, dan saya langsung tertarik untuk terus mendalami karena ada tantangan” kenang Untung. ”Saya suka dengan dunia anak-anak yang ’tiba-tiba’, ’ajaib’, dan spontan. Hampir semua anak di sini punya kelebihan; ada yang hafal nama-nama jalan di Jakarta, ada yang memiliki photographic memory, ada yang IQ-nya di atas rata-rata. Ini yang membuat saya tertantang: kenapa anak-anak yang punya kelebihan itu prestasinya tidak bisa berkembang sesuai potensinya, bagaimana menyiasati faktor gangguan penyerta tersebut?” tambahnya.


Lalu, pendekatan apa yang digunakan praktisi Reiki ini untuk menyiasati gangguan penyerta, seperti keterbatasan dalam pemahaman sosial? ”Metode pengajarannya sangat bersifat individual, karena yang tepat untuk satu anak belum tentu tepat untuk anak yang lain. Tetapi sebagai benang merahnya, yang saya lakukan adalah menjelaskan urutan kronologis suatu peristiwa dan sebab-akibatnya. Anak-anak ini harus diajarkan itu,” jelas lajang yang menghabiskan waktu luangnya untuk browsing dan berburu buku itu. ”Biasanya, saya menerangkan dengan metode mindmapping. Menggunakan bulatan-bulatan; bahwa kejadian A menyebabkan kejadian B, dan B menyebabkan C, dan seterusnya. Pendekan ini pula yang saya gunakan untuk menerangkan kalau ada murid yang mengadu tiba-tiba dipukul temannya,” sambung Untung.

Pada awal-awal mengajar, Untung sempat kena ”tipu” muridnya. ”Karena IQ mereka umumnya di atas rata-rata, mereka sangat tricky, sangat jago berkelit. Suatu ketika saat ulangan, saya ditanya suatu hal yang memiliki analogi sama dengan soal yang dikerjakannya,” cerita Untung mengenang ”kebodohan”-nya.


Belajar dari pengalaman itu, kini ia sudah punya bekal jurus-jurus penjelasan. ”Kita harus siap dengan rambu-rambu. Jadi, kalau mereka menggiring suatu persoalan ke sini, kita sudah siap jawaban begini. Kalau menggiring ke sana kita siap dengan jawaban yang lain. Ini kadang-kadang bisa berpanjang-panjang karena mereka umumnya jago berkelit dan pintar, selain juga egois. Ini yang kerap menyedot energi,” kata Untung yang tak jarang kesal dengan dirinya sendiri kalau tidak berhasil memberi pemahaman kepada muridnya.


Diakui oleh anak ketiga dari lima bersaudara ini, pekerjaannya kadang membuatnya lelah. Betapa tidak, keunikan- keunikan yang dimiliki murid-muridnya membuat setiap murid harus dihadapinya secara individual. Ini membuat Untung harus menyiapkan stamina dan energi yang cukup setiap harinya agar tetap bisa berpikir dan bertindak jernih, tetapi juga cukup punya energi untuk mempelajari karakter tiap-tiap muridnya.
”Kadang-kadang lelah juga. Tetapi kalau ingat salah satu murid saja, saya langsung semangat lagi,” kata Untung yang bertekad untuk terus mendalami profesinya ini.

”Ada kepuasan dan kebahagiaan kalau bisa membantu anak-anak berkembang mendekati potensinya. Kadang kita tidak menyangka kalau sentuhan-sentuhan yang tidak seberapa ini ternyata bisa mengantarkan mereka untuk berkembang,” sambung Untung sambil mengatakan, selain keikhlasan dan pendidikan yang kompeten, kemampuan berempati dan menempatkan diri sebagai orang dewasa merupakan hal yang dituntut dari profesinya.


Tugas Untung dan guru-guru anak LD lain memang berat. Mereka harus menyiapkan murid-muridnya untuk bisa mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi di sekolah umum, mengingat belum ada SLTP dan SLTA khusus untuk anak-anak LD.

Tidak ada komentar: