Rabu, 18 April 2012

HOROR UJIAN NASIONAL DAN TRYOUT-TRYOUT-NYA BELUM BERAKHIR



Naskah ini dimuat dalam catatan Facebook Untung Sudrajat (Untung S. Drazat)
Ditulis sebagai bentuk keprihatinan saya, sebagai praktisi pendidikan atas kebijakan pemerintah mengenai Ujian Nasional (UN). Sebenarnya, tulisan ini difokuskan pada fenomena UN di jenjang sekolah dasar. Tetapi bisa juga diproyeksikan untuk jenjang-jenjang pendidikan di atasnya...

Ujian nasional dan tryout-tryout-nya hadir kembali menjadi horor dan penyiksaan anak-anak sekolah. Inilah keprihatinan tahunan yang tak berubah juga....Benar-benar iba saya mencermati anak-anak kelas 6 yang tampak amat keletihan dalam menempuh tryout jelang ujian nasional. Bayangkan anak-anak sekolah dasar berusia 11-13 tahun ini menjalani tryout 9 kali untuk 3 pelajaran. Alhasil, sebanyak 27 kali tryout harus mereka jalani! Rinciannya: 5 kali tryout hasil kerjasama dengan sebuah penerbit di Jakarta; 1 kali tryout tingkat provinsi; 1 kali tryout tingkat kotamadya; dan 2 kali tryout tingkat kecamatan).



Padahal, dalam waktu berdekatan mereka juga harus menempuh ujian praktik sebanyak 7 mata pelajaran. Sebentar kemudian mereka menjalani ujian akhir semester II (ulangan semesteran) yang nilainya untuk mengisi raport sebanyak 8 pelajaran. Lalu ada ujian sekolah (US) tertulis yang nilainya untuk pertimbangan dalam mengisi ijasah juga dalam 8 pelajaran.

Sudah selesaikah? Ternyata belum juga! Karena, pada akhirnya nanti masih ada ujian nasional untuk 3 pelajaran. Betapa meletihkan dan mejemukan menjadi anak sekolah dasar di Indonesia (atau hanya di Jakarta?) pada zaman ini.... Bayangkan, dalam rangkaian waktu 3 - 4 bulan, nyaris tanpa putus, mereka harus menempuh ujian dan tryout-tryout-nya sebanyak 36 kali..!

Pertanyaannya:
1. Apakah pemerintah menjadikan kondisi mental-psikologis anak usia 11-13 tahun ini sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan ujian nasional ini?
2. Apakah pemerintah semata hanya mempertimbangkan keuntungan proyek ujian nasional?
3. Sudahkah pemerintah mempertimbangan akan adanya 'efek domino' kebijakan ujian nasional, dalam hal ini berupa   pelaksanaan tryout yang berlebihan yang dimulai dari level pusat sampai level kecamatan?
3. Apakah pemerintah tidak malu bahwa perkara kewenangan mengadakan ujian nasional sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (atau Mahkamah Agung)?

Agaknya para pemangku, pemerhati, pegiat, dan penghayat, dan pakar pendidikan Indonesia musti berpikir dan mengkaji ulang dengan keras akan manfaat dan fungsi ujian dan evaluasi pada umumnya! Lalu menuangkannya dalam racikan bahasa yang mudah dipahami oleh pihak pemerintah, c.q. Kemdikbud. Dengan demikian mereka menjadi benar-benar sadar bahwa kebijakan dan kebersikukuhan melaksanakan ujian nasional itu bisa berakibat fatal bagi anak-anak inosen calon pemimpin bangsa masa depan ini.

Masalahnya pemerintah tidak pernah merasakan langsung ketika anak-anak ini mengalami "sindrom-efek ujian-tryout" dalam rupa keletihan, kejenuhan, stress, perilaku agresif, regresif, dan seterusnya ini. Pada akhirnya, kami (guru, praktisi lapangan dan para orangtua) juga yang ketiban pulung menghadapinya. Kami pulalah yang pada akhirnya menjadi petugas "pemadam kebakaran"-nya!

Dalam perkembangan terakhir, saat UN SMA/SMKberlangsung, fenomenanya malah tampak lebih "seram" lagi, yakni dengan hadirnya penjagaan ketat polisi, CCTV, dan metal detector. Reaksi sebelumnya, dari calon peserta  UN, ada yang sampai mengadakan istighosah dan ziarah ke makam-makam. keramat. Betapa menegangkan?

Menurut saya, kondisi masalah ini sekarang semakin parah. Dan tahun ini, agaknya, yang paling parah!
Ada yang mau urun saran?
· · · Bagikan · Hapus

Tidak ada komentar: