Rabu, 05 Desember 2007

SEKILAS TENTANG DISLEKSIA

Diterjemahkan oleh Untung S. Drazat
dari artikel di http://mentalhelp.net/factsfam/dyslexia.htm

A. Pendahuluan
Disleksia adalah sejenis kesulitan belajar (learning disability) yang ditandai dengan kesulitan dalam membaca. Beberapa anak disleksia juga berke­mungkinan mengalami kesulitan menulis, dan
kadang-kadang juga kesulitan berbicara atau berhitung. Kita belum dapat memastikan apa sebenarnya yang menyebabkan anak menjadi disleksia. Yang kita tahu, hal itu amat mempengaruhi anak yang pada dasarnya sehat secara fisik dan emosional, memiliki kemampuan akademis, dan berasal dari lingkungan keluarga yang cukup baik. Sebenarnya, banyak anak disleksia mempunyai potensi untuk berprestasi yang amat luar biasa, kecakapan mental yang tinggi, serta orangtuanya berasal dari kalangan terdidik dan menganggap penting belajar.

Masalah membaca dengan berbagai macam bentuknya merupakan masalah pen­ting bagi para anak sekolah. Adapun, para periset telah menemukan beberapa pe­nye­bab masalah tersebut. Dewasa ini, para guru kebanyakan menerima temuan-temuan hasil riset itu untuk kemudian menggunakannya dalam penyusunan program pembe­lajaran. Namun, ada sebagian kecil anak yang memiliki kesulitan dalam belajar mem­baca tapi tidak sepenuhnya sesuai dengan hasil temuan tersebut. Anak-anak ini disebut anak disleksia. Walaupun upaya untuk memperkirakan prevalensi anak dislek­sia merupakan hal yang sulit, beberapa periset memperkirakan bahwa sekitar 15 persen siswa Amerika Serikat diklasifikasikan sebagai anak disleksia.



B. Definisi Disleksia
Selama beberapa tahun, istilah disleksia memiliki beragam definisi, dan dengan alasan tersebut, para guru jadi enggan menggunakan kesemua istilah itu. Bahkan, mereka telah menggunakan istilah seperti “reading disability” (kesulitan membaca) atau learning disability untuk menggambarkan kondisi yang dirasa lebih tepat sebagaimana istilah disleksia. 


 Selanjutnya . . . 

Walau istilah disleksia sendiri belum diterima secara umum, salah satu definisi disleksia yang disajikan World Federation of Neurology memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu “suatu gangguan berupa kesulitan dalam membaca walaupun instruksinya bersifat umum, serta memiliki inteligensi dan kesempatan sosial yang cukup baik.”


C. Simtom-simtom
Anak disleksia memiliki perbedaan satu sama lain. Satu-satunya sifat yang sama pada mereka adalah kemampuan membacanya yang sangat rendah dilihat dari usia dan inteligensi yang dimilikinya. Hambatan membaca ini biasanya dipilah ke dalam level-level kelas. Misalnya, anak kelas empat yang level membacanya sama dengan level membaca kelas dua, berarti 
kemampuan membacanya disebut tertinggal dua tahun. Setiap anak memiliki kemungkinan disleksia, dan ada pula anak yang tidak disleksia tetapi mempunyai pengalaman kesulitan membaca.

Pemilahan kemampuan membaca seperti itu memang lumayan tepat tapi juga dapat menyesatkan. Siswa yang level membacanya tertinggal dua tahun saat ia duduk di kelas empat memiliki masalah belajar yang lebih serius ketimbang anak kelas 10 yang level membacanya baru pada level kelas dua. Anak kelas empat baru mempelajari sedikit kecakapan membaca ketimbang anak kelas 10. Berarti pada anak kelas 10 ia sudah menguasai 8 kelas atau 80 persen kecakapan yang diperlukan untuk menjadi membaca yang baik.
Samuel T. Orton, seorang neurolog yang tertarik pada masalah pembelajaran membaca pada tahun 1920-an, merupakan salah satu ilmuwan pertama yang meneliti disleksia. Dalam kerja sama penelitiannya dengan mahasiswa di Iowa dan New York, ia menemukan bahwa anak disleksia memiliki salah satu atau lebih hambatan berikut:
  1. Kesulitan dalam mempelajari dan mengingat kata yang tertulis atau tercetak.
  2. Terbalik saat menulis huruf atau angka yang bermiripan (p – q; b – d atau 2 – 5, 6 – 9).
  3. Mengubah urutan angka atau huruf pada kata (12 – 21, 35 – 53, atau sop – pos)
  4. Menghilangkan atau menyisipkan huruf pada kata (misalnya : sekolah à seolah atau kertas à keras)
  5. Huruf vokal tidak jelas atau mengganti konsonan
  6. Selalu salah eja
  7. Kesulitan dalam menulis.
Orton mencatat bahwa bayak anak disleksia yang kidal atau ambidextrous (dapat menggunakan kedua belah tangan, misalnya saat menulis, tangan sama baiknya). Acap kali mereka pun membaca dari kanan ke kiri.
Simtom-simtom lain yang diamati Orton diantaranya:
  1. Ragu-ragu dan lambat dalam berbicara
  2. Kesulitan memilih kata yang tepat untuk menyampaikan maksud yang diucapkannya
  3. Bermasalah dalam menentukan arah (atas – bawah) dan waktu (sebelum – sesudah, kemarin-kemarin)
  4. Tampak kikuk, lugu atau apa adanya saat menggunakan tangan, dan tulisan tangannya tidak terbaca.
Orton juga menemukan bahwa kebanyakan anak disleksia memiliki orangtua atau saudara yang juga disleksia. Sayangnya, kebanyakan anak disleksia hanya memiliki sebagian kecil kesulitan-kesulitan membaca tersebut. Tapi dengan memiliki salah satu saja jenis kesulitan itu sudah membuat kebutuhan pendidikannya menjadi unik.

D. Faktor-faktor Penyebab
Pada awalnya, para periset meneliti penyebab utama disleksia. Sekarang banyak ahli sepakat bahwa ada banyak faktor yang mungkin saling berkombinasi menyebab­kan mereka mengalami kesulitan membaca. Penyebab disleksia bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori faktor utama, yaitu faktor pendidikan, psikologis, dan biologis.

1. Faktor Pendidikan
    *Metode Mengajar
Banyak ahli setuju bahwa disleksia disebabkan oleh metode yang digunakan dalam mengajarkan membaca. Terutama, metoden “whole-word” yang menga­jarkan kata-kata sebagai satu kesatuan ketimbang mengajarkan bahwa kata me­rupakan bentuk bunyi dari suatu tulisan. Mereka berpikir bahwa metode fonetik, yang mengajakan anak nama-nama huruf berdasarkan bunyinya, memberikan fondasi yang baik untuk membaca. Mereka mengklaim bahwa anak yang belajar membaca dengan etode fonetik kan lebih mudah dalam mempelajari kata-kata baru. Dan untuk mengenali kata-kata asing tertulis sebagaimana mengeja tulisan kata itu setelah mendengar pelafalannya.
Sementara ahli membaca yang lain meyakini bahwa dengan mengkombinasikan pendekatan “kata utuh” dan metode fonetik merupakan cara paling efektif dalam pengajaran membaca. Dengan mengguna­kan kedua metode tersebut, selain mengenali kata sebagai satu kesatuan (unit) anak pun akan belajar cara menerapkan aturan fonetik pada kata-kata baru.
Namun demikian, metode apapun yang digunakan, para ahli yang yakin bahwa praktek penggunaan metode itulah yang pada dasarnya menimbulkan kesulitan membaca. Oleh karena itu, memperkuat program “membaca permulaan”merupakan upaya penting untuk mengurangi jumlah dan taraf kesulitan membaca pada anak.
    
*Sifat Bahasa Inggris
Banyak kata dalam Bahasa Inggris yang tidak mengikuti prinsip-prinsip fone­tis. Sehingga mempelajari cara membaca dan mengeja/melafalkan bahasa ini menjadi sulit, terutama bagi anak-anak disleksia. Kata-kata seperti cough, was, were, dan laugh merupakan beberapa contoh jenis kata yang harus diperhatikan karena pelafalannya berbeda dengan tulisannya. Sementara, setiap kata memberi kontribusi terhadap masalah membaca. Kata-kata seperti itu memang tidak beg­i­tu banyak, oleh karenanya diperkirakan kata-kata semacam itu bukan meru­pakan penyebab utama disleksia.

* Tes Inteligensi
Definisi yang umum diterima adalah bahwa disleksia merupakan kesulitan membaca pada anak yang inteligensinya normal. Definisi itu didasarkan pada anggapan bahwa kita dapat mengukur inteligensi secara akurat. Hasil tes inteligensi yang biasanya berupa skor IQ haruslah ditafsirkan secara hati-hati. Skor IQ bisa dipengaruhi oleh banyak faktor selain inteligensi. Tes-tes IQ yang harus dilakukan dengan proses membaca atau menulis tentu saja akan menimbulkan masalah bagi anak disleksia. Skor tes itu mungkin lebih mencerminkan lemahnya kecakapan berbahasa anak itu ketimbang inteligensinya. Bahkan pada tes yang sengaja dirancang untuk tes individual dan hanya memerlukan sedikit saja kemam­puan baca-tulis pun bisa saja tidak tepat mengukur inteligensi.
Anak-anak disleksia acap kali bersikap negatif terhadap segala situasi pengetesan. Di samping itu, hasil tes juga dipengaruhi oleh banyak faktor kondisi, seperti suasana gaduh, kelelahan, atau hal-hal tertentu yang mungkin terjadi pada saat tes. Dengan banyaknya kemungkinan yang berpengaruh terhadap skor IQ, kita harus memperlakukan skor IQ itu seperti skor lainnya. Artinya, kalau skor itu tepat memang bisa merefleksikan kecakapan skolastik anak, namun bila saja skor itu tidak tepat maka skor itu tidak memiliki makna. Bahkan mendorong kita untuk memberikan label yang salah pada anak.

2. Faktor Psikologis
Beberapa peneliti memasukkan disleksia ke dalam gangguan psikologis atau emosional sebagai akibat dari tindakan kurang disiplin, tidak memiliki orangtua, sering pindah sekolah, kurangnya kerja sama dengan guru, atau penyebab-penyebab lain. Memang, anak yang kurang ceria, sedang marah-marah, atau memiliki hubungan yang kurang baik dengan orangtua atau dengan anak lain kemungkinan memiliki masalah belajar. Stress mungkin juga mengakibatkan disleksia, namun yang jelas stress dapat memperburuk masalah belajar. Metode treatmen yang efektif pasti dapat mengurangi kecemasan disleksia.

3. Faktor Biologis
Sejumlah peneliti meyakini bahwa disleksia merupakan akibat dari penyimpa­ngan fungsi bagian-bagian tertentu dari otak. Diyakini bahwa area-area tertentu dari otak anak disleksia perkembangannya lebih lambat dibanding anak-anak normal. Di samping itu kematangan otaknya pun lambat. Teori memang dulu banyak diperde­bat­kan, namun bukti-bukti mutakhir mengindikasikan bahwa teori itu memiliki validitas.

Teori lainnya menyatakan bahwa disleksia disebabkan oleh gangguan pada struktur otak. Beberapa peneliti menerima bahwa teori ini masih diyakini sampai saat diadakan penelitian penelaahan otak manusia disleksia yang meninggal. Penelaahan otak ini telah menyingkap karakteristik perkembangan otak. Dari situ diperoleh gambaran bahwa gangguan struktur otak mungkin mengakibatkan sejumlah kasus penting disleksia berat.
Faktor genetik juga diperkirakan turut berperan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa 50% atau lebih anak disleksia memiliki riwayat orangtua yang disleksia atau gangguan lain yang berkaitan. Dan ternyata, lebih banyak anak laki-laki yang disleksia daripada anak perempuan. Hal ini berarti bahwa faktor genetis dan faktor lingkungan-sosial sama-sama mempunyai kontribusi terhadap masalah belajar tersebut.

E. Treatmen (Penanganan)
Secara umum, para pendidik dan psikolog sepakat bahwa remedial yang dilaku­kan bagi anak-anak disleksia harus difokuskan pada gangguan spesifiknya. Oleh karena itu, pendekatan treatmen biasanya diarahkan untuk memodifikasi metode pengajaran dan lingkungan pendidikan. Ingat, anak-anak disleksia itu berbeda satu sama lain, maka metode pengajaran yang digunakan sepatutnya divariasikan.
Anak-anak yang dicurigai disleksia sebaiknya dites oleh ahli pendidikan yang ter­latih atau psikolog. Dengan menggunkan beragam tes, si penguji akan dapat mengi­den­tifikasi jenis kekeliruan yang kerap dilakukan anak tersebut. Kemudian penguji pun dapat mendiagnosis apa yang menjadi masalahnya. Adapun jika anak itu memang disleksia, dapat diajukan rekomendasi untuk penanganannya, seperti tutuorial, sekolah libur, speech teraphy, atau rekomdenasi mengenai penempatan anak tersebut di kelas khususnya.
Penguji juga bisa merekomendasikan pendekatan-pendekatan khusus untuk treatmen bagi anak ini. Karena tak ada satu metode pun yang sesuai bagi semua anak, program remediasi sebaiknya dirancang sebagai program individual. Kelebihan dan kelemahan anak dalam bidang pendidikannya , seperti skolastik (IQ), pola perilaku, dan gaya belajar, sepanjang hal itu diperkirakan sebagai pemicu disleksianya, sebaik­nya dijadikan bahan pertimbanngan ketika merancang program treatmen baginya. Rancangan tersebut sebaiknya menggambarkan kecakapan-kecakapan anak yang diha­rapkan tercapai dalam periode waktu tertentu, serta meggambarkan pula materi dan metode yang digunakan untuk membantu anak mencapai penguasaan kecakapan itu.
Program treatmen bagi anak-anak disleksia dapat dipilah ke dalam tiga kategori, yaitu pengembangan, korektif (pembetulan), dan remedial (perbaikan). Setiap prog­ram menggabungkan lebih dari satu kategori di atas.
  • Pendekatan Pengembangan digambarkan sebagai suatu pendekatan “more of the same”. Dalam hal ini guru meggunakan metode-metode yang sebelumnya telah di­gunakan dan berguna, tetapi anak-anak ini memerlukan waktu dan perhatian yang ekstra. Penerapan kelompok kecil dan pendekatan tutorial di mana guru dapat mem­bagi perhatian pada anak secara individual. Banyak peneliti dan kalangan pen­didik percaya bahwa ini bukanlah metode yang efektif bagi sebagian besar anak (normal).
  • Pendekatan Korektif juga menggunakan kelompok kecil dengan teknik tutorial, tapi lebih menekankan pada minat dan modal yang dimiliki anak. Para pegguna metode ini bermaksud untuk memberi kesempatan anak untuk mengekspresikan kemampuan khususnya untuk menangani kesulitan yang dimilikinya.
  • Pendekatan Remedial terutama dikembangkan untuk menangani kelemahan dua metode di atas. Metode ini memiliki kelebihan, yaitu menangani masalah pendidikan dan masalah psikologis yang mengganggu kelancaran belajar. Dalam hal ini, guru mengenali dan mengakui terlebih dahulu bahwa si anak memiliki suatu modal tertentu, tapi pelaksanaan pengajarannya langsung diarahkan pada hambatan-hambatan yang dialaminya. Guru remedial mempertimbangkan hal tersebut sebagai dasar dalam menentukan kecakapan yang yang dirasakan anak paling menyulitkan, untuk kemudian menerapkan teknik-teknik individual yang terstruktur dalam meremediasi hambatan-hambatan kemampuannya. Materi disusun secara logis dan sifat Bahasa Inggris (sesuai aslinya –penterjemah). Kalangan pendidik menganjurkan penggunaan pendekatan multisensori, yaitu pendekatan yang melibatkan semua indera dalam proses belajar. Indera pendengaran untuk menyimak bunyi huruf atau kata, penglihatan untuk mengamati bentuk huruf dan kata. Dan kesan gerak tangan dan otot untuk memproduksi bicara dan tulisan huruf dan kata.
Prognosis
Prognosis bagi anak disleksia merupakan suatu proses terpadu. Kesulitan yang dialami memiliki dampak pada anak dan muncul dalam berbagai simptom yang taraf kesulitannya sulit diprediksi. Orangtua anak disleksia mungkin menganggap bahwa anaknya akan dapat membaca bila sudah sampai waktunya, atau anaknya akan berkembang dengan sendirinya. Riset-riset terbaru membuktikan bahwa disleksia tidak aka hilang sama sekali, dan pengajaran tradisional yang diberikan secara ekstra pun tidak banyak mengurangi kondisi disleksia-nya.
Sayangnya, dengan mengetahui kompleksitas disleksia, membuat kalangan pendidik kian memperketat pemilihan metode yang paling tepat bagi setiap anak. Guru pun terlalu banyak memberikan remedial dengan rentang waktu lama. Beberapa anak disleksia memang berkembang membaik dalam waktu singkat, tapi anak yang lain perkembangannya lamban dan yang lainnya lagi masih enggan mengikuti proses pembelajaran. Banyak diantara mereka yang masih juga memiliki masalah ejaan. Dan sebagian lagi bisa meguasai kemampuan dasar membaca namun belum lancar.Taraf kemampuan anak disleksia dipegaruhi oleh beberapa hal.

Program remedial yang tepat tentu saja menjadi hal yang penting. Namun demikian, kondisi lingkungan dan sosial dapat memperlemah program treatmen. Pola hubungan anak dengan keluarga, teman sebaya, dan hubungan dengan guru berpegaruh banyak terhadap hasil pembelajaran. Dalam lingkungan yang kondusif, peluang keberhasilan anak akan kian besar. Sikap optimis merupakan hal penting. Anak yang kurang optimis jarang yang yang sukses dalam mengikuti program treatmen. Karena kemajuan kemampuan membacanya kecil, maka pencapaian tingkat akademis dan vokasional bagi mereka pun perlu diperendah. Namun mereka tetap perlu bersikap optimis.
Semakin dini diagnosis dan treatmen dilakukan pada anak disleksia, akan semakin banyak kecakapan berbahasa yang dapat dicapai. Sebab, masalah yang tak tertangani akan terakumulasi seiring waktu dan jenjang keals yang ditempuh anak, sehingga pena­nganannya pun akan kian sulit. Siswa yang duduk di kelas besar memang memiliki motivasi yang lebih kecil, karena ia enggan mengulangi kegagalan, dan treatmen yang dilakukan akan menjadi kian sulit lagi.
Waktu saat dilakukannya treatmen juga berpe­nga­ruh terhadap peluang perbaikan yang akan dicapai anak disleksia. Seringkali, prog­ram remedial hanya diberikan pada anak kelas kecil, walaupun sebenarnya program ju­ga remedial diperlukan anak-anak yang duduk di kelas besar, bahkan sampai pergu­ru­an tinggi. Program remedial sebenarya dapat diberikan selama anak itu mau dan termo­ti­vasi untuk belajar. Walaupun orang dewasa juga dapat diperbaiki dengan program re­me­dial, namun amat jarang program seperti itu diberikan pada siswa-siswa di kelas besar.
Taraf disleksia bisa juga dipengaruhi oleh kepribadian dan motivasinya. Karena kemampuan membaca merupakan hal yang vital bagi anak, maka disleksia dapat mempengaruhi emosional adjusment (pola penyesuaian emosional-nya). Mengulangi kegagalan merupakan suatu hal yang tidak mengenakan. Mereka mungkin menjadi marah, kesal, merasa bersalah, bahkan amat berputus asa dan kehilangan ambisinya. Mereka mungkin membutuhkan konseling untuk menangani gangguan emosional yang diakibatkan oleh disleksia-nya. Dengan pemberian bantuan yang beragam dan kontinu, anak disleksia akan mencapai kemajuan.
Anak disleksia yang sudah teridentifikasi sejak dini, memperoleh dukungan dari keluarga dan teman-temannya, memiliki self imge yang kuat, serta mendapatkan program treatmen yang cukup memadai, diperkirakan akan meraih kemajuan yang baik.

F. Dukungan Riset NICHD
The National Instiuteof Child and Human Development (NICHD) mendukung beberapa penelitian yang lakukan untuk menentukan bagaimana cara kebanyakan anak disleksia membaca dan apa yang menghambat mereka meraih kecakapan uta­manya. Beberapa peneliti tengah merancang tes-tes bahasa yang dapat memprediksi kecakapan membaca yang seharusnya dimiliki anak usia 5-6 tahun. Jika upaya para peneliti ini berhasill, agaknya banyak kasus disleksia dapat dihindari. Para peneliti lain tengah berupaya mengidentifikasi anak yang memiliki resiko disleksia melalui prosedur pengujian persarafan moderen, seperti electroencepalography dan PET-scan (Positron Emission Tomography) yaitu suatu teknik pencitraan aktivitas otak.
Beberapa ilmuwan memperoleh dukungan NICHD yang mengadakan penelitian terhadap anak dari keluarga yang berpeluang lebih tinggi mengalami disleksia atau gangguan bahasa lain untuk menentukan penyebab genetis pada gangguan membaca. Sedangkan para peneliti yang lainnya lebih memfokuskan pada penggambaran ber­bagai tipe dan sub-tipe disleksia dengan harapan agar rancangan treatmen yang akan diberikan menjadi lebih tepat dan terarah.
Walau telah banyak ditemukan bukti diperoleh dari berbagai penelitian, masih banyak masalah gangguan perkembangan anak yang belum terjawab. Tujuan akhir yang ingin kita tuju adalah pencegahan disleksia dan gangguan belajar spesifik lain secara menyeluruh. Jalan menuju tujuan tersebut adalah dengan melakukan identifikasi dini pada semua anak yang berisiko disleksia sehingga dapat rancang petunjuk dan prosedur yang lebih tepat. Dengan demikian, gejala-gejala disleksia dapat dihilangkan atau setidaknya meminimalkan pengaruh disleksia-nya itu terhadap perkembangan intelektual, akademik, psikologis, dan sosialnya.
Kendati kesan tentang adanya ciri perilaku neurologis pada anak disleksia telah terbukti, penelitian lanjutan tetaplah penting. Semua riset medis dan riset pendidikan mengenai teknik-tekik diagnostik dan program pendidikan individual diharapkan akan semakin membuka luas kesempatan bagi anak disleksia menjadi anggota masyarakat yang melek huruf.

Terima kasih Anda telah membaca artikel ini.
Jangan lupa, tuliskan komentar Anda!

Tidak ada komentar: