Selasa, 02 Oktober 2007

B E L A J A R

Oleh Ratih Zimmer
Alih Bahasa oleh Untung S. Drazat

SD Pantara Kebayoran Baru, Jakarta


Belajar merupakan sesuatu yang umum. Kita belajar tentang sebuah rute baru, nama-nama orang, dan acara TV malam ini. Kita juga belajar berenang, belajar meletakkan papan nama, ataupun belajar cara menerbangkan helikopter. Kita pun mempelajari sejarah seni, mempelajari lima keagungan Tuhan, bahasa asing, maupun belajar mengenai sebuah pernyataan yang menjadi kalimat hukum. Belajar adalah sesuatu yang umum, tapi apakah itu? Apa belajar itu? Bagaimana caranya? Sesuatu yang umum tapi misterius. Mari kita simak uraian berikut.
 

Makhluk selain manusia semuanya mampu mempelajari keterampilan maupun konsep-konsep, baik di habitat alaminya maupun di laboratorium. Bahkan bakteri yang amat kecil, yang tidak memiliki inteligensi, ternyata mampu melakukan suatu trik di lab. Sedangkan raga/fisik manusia sebenarnya tidak bisa belajar. Mengapa begitu? Kita tidak bisa melakukan kegiatan belajar selama kita tidur, ‘kan? Mengapa? Dalam kondisi tertentu, seseorang bisa saja belajar berjalan di atas bara tanpa kakinya terluka, namun ia tentu saja tidak dapat belajar berjalan di atas air tanpa melakukan suatu latihan tertentu. Jadi, apa saja yang bisa dipelajari dan apa yang tidak?
 

Tanaman menyesua­­ikan diri terhadap perubahan kelembaban udara, sinar matahari, dan kimiawi tanah. Apakah itu didapat dari proses belajar? Ada bukti bahwa pepohonan saling berkomunikasi satu sama lain mengenai kemungkinan bakal datangnya serangan serangga. Apakah mereka saling belajar satu sama lain? Bila Anda dekatkan paku besi dengan klip, maka tidak akan terjadi apa-apa. Tapi, ambillah sebuah magnet! Lalu gosokkan dengan gerakan satu arah ke paku besi itu, kemudian dekatkan dengan klip tadi. Kip itu akan menempel di paku. Jadi, apakah paku itu telah mempelajari sesuatu?
 

Jika Anda mempelajari sebuah fakta lalu Anda segera melupakannya, apakah Anda benar-benar melakukan kegiatan belajar? Apakah belajar itu dilakukan dengan “menghafal”? Saat Anda belajar piano, apakah kegiatan belajar itu Anda lakukan dengan jari ataukah dengan “kepala“ Anda? Mengapa belajar main piano lebih baik dilakukan dengan praktik? Apakah belajar merupakan peristiwa yang bertahap, ataukah hanya ada satu pengalaman belajar? Apakah belajar itu sama dengan pemecahan masalah? Jika Anda dapat belajar merokok dengan mudah, kenapa Anda kok sulit untuk menghentikannya? Mengapa kita mengalami kesulitan saat pertama kali memasuki program bahasa, tapi ketika Anda menginjak program keempat, kesulitan itu sudah tidak begitu berat lagi? Bisakah dengan belajar seseorang menjadi artis besar, ataukah yang dibutuhkan di situ adalah bakat? Terus yang dilakukan guru itu, apa dong?
 

Rentetan pertanyaan di atas membuktikan bahwa ternyata ‘belajar’ belum begitu kita pahami dengan baik. Padahal belajar merupakan fenomena keseharian dalam kehidupan kita. Ini memang soal yang pelik. Kita bahkan tidak memiliki penjelasan yang tegas mengenai apa "belajar" itu. Perlu kita katakan dengan jujur bahwa belum ada teori belajar yang dapat diterima secara umum. Yang ada adalah lusinan teori belajar yang memandang fenomena belajar dari aspek yang berbeda satu sama lain.
Hal ini telah menyulitkan saya sekian lama, padahal saya mengajar mata kuliah “Teori-teori Belajar” di sebuah perguruan tinggi selama tujuh tahun. Saya amat frustrasi. Saya dapat menjelaskan atau mendemonstrasikan lusinan teori dan berbagai fenomena yang kita kategorikan sebagai fenomena “belajar”, dan kemudian saya ajukan pertanyaan kepada para mahasiswa tentang apa yang mereka pikir tentang belajar. Salah satu alasan kenapa saya tinggalkan kegiatan mengajar adalah karena saya tidak mempunyai satupun teori belajar yang dapat menjelaskan mengapa saya menjadi seorang pengajar. Intinya, saya tidak tahu apa yang saya lakukan.

Sebuah Definisi Belajar yang Kurang Berguna
Ambillah sebuah buku teks psikologi, psikologi belajar atau psikologi mengajar. Akan Anda temukan bahwa belajar adalah sebuah perubahan perilaku. Itu adalah definisi eksternal atau definisi operasional belajar. Bagaimana seorang guru tahu bahwa siswanya telah belajar? Hanya dengan menanyakannya, mengetes jawabannya atau menguji perilakunya. Anda perlu melihat perilaku untuk melihat hasil belajar. Sayangnya, walaupun paktis, definisi ini sulit mencari kaitan filosofisnya. Itulah makanya, di atas tadi, saya menyimpulkan bahwa paku besi telah melakukan kegiatan belajar, karena nyatanya paku itu menunjukkan perubahan perilaku setelah “diajari” oleh magnet. Padahal, kita tak ingin mengatakan bahwa peristiwa itu adalah sebuah kegiatan belajar.
 

Sebuah varian definisi standar untuk menspesifikkan pola perilaku dalam kondisi tertentu tampaknya diperlukan, agar orang yang menggigil karena kedinginan tidak digolongkan sebagai hasil belajar. Belajar telah didefinisikan sebagai perubahan perilaku, tetapi hanya saat perilaku itu diparkatikkan. Padahal, kita pun tidak tahu apa yang dimaksud praktik itu. Apakah praktik adalah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang? Ataukah itu merupakan suatu usaha mental yang secara terarah merupakan bagian dari kegiatan belajar. Tapi, sekarang kita telah mengetahui lebih jauh tentang bagian dalam otak. Dan seperti yang telah kita ketahui, tak satupun teori belajar yang mengarah ke sana. Lonceng kematian saatnya berdentang bagi pendekatan belajar tradisional.
 

Varian yang lain mengatakan bahwa belajar merupakan perubahan perilaku yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Jadi, belajar itu diarahkan, diiming-imingi dan dimotivasi oleh tujuan atau sasaran. Tegasnya, belajar itu bertujuan. Versi belajar yang ini membutuhkan teori motivasi, suatu teori yang belum begitu dipahami secara utuh. Teori inipun dipersullit dengan sukarnya menentukan seberapa besar suatu tujuan dapat mempengaruhi perilaku saat ini tanpa ada musabab sebelumnya. Titik tolak musabab itu beasal dari pengalaman masa lalu yang digunakan untuk mengantisipasi masa depan. Teori tentang memori dan pengaruh pengalaman pun diperlukan di sini. 
Sayangnya, kita belum mendengar adanya teori tentang pengalaman. Lonceng kematian yang lain pun berdentang kembali.
Varian terakhir adalah teori yang amat bebeda, yakni teori neurologis. Teori ini merupakan variasi yang sederhana dari teori perubahan perilaku, terlepas dari definitif tidaknya perilaku otak dengan perilaku otot atau perilaku bahasa. Pokok utama teori ini adalah “belajarnya” saraf untuk beroperasi lebih sering dalam kondisi tertentu, atau suatu pembentukan se-sel assembli ataupun sirkuit. Varian ini menjawab semua masalah teori perilaku yang biasa. Misalnya dalam menjelaskan perubahan perilaku mana yang termasuk hasil belajar dan mana yang bukan. Memang teori otak ini amat sukar dipelajari karena saraf-saraf amatlah kecil ukurannya dan jumlahnya pun terlalu banyak. Namun demikian, apapun yang dilakukan saraf di kepekatan bagian dalam tulang tengkorak saya, perilakunya bukanlah untuk menjelaskan apa yang telah saya pelajari bahwa perekonomian Indonesia sedang kolaps. Penemuan mengenai aktivitas fisiologis yang berkorelasi dengan belajar dalam hal tertentu tampak menarik dan mungkin bermanfaat, namun ini bukanlah suatu penjelasan yang memadai. [Lihat definisi saya tentang kausalitas di bagian Glossary -–korelasinya tampak kurang memadai!]. Untuk menjelaskannya perlu diperhitungkan seberapa besar hasil dari aktivitas sel-sel yang saya ketahui. Dan ini tidak ada penghitungannya.


Belajar itu Menciptakan Memori
Paham Realisme Generatif memaknai belajar sebagai suatu fenomena kesadaran. Oleh karena itu, belajar membutuhkan penjelasan dengan menggunakan batasan-batasan yang tepat mengenai kesadaran. Sebagai sarana melahirkan memori, proses belajar itu terbatas dan lemah. Memori merupakan suatu aktivitas kesadaran. Proses pembentukan objek memori tingkatan pertama adalah belajar. Paham Realisme Generatif mengungkapkan bahwa belajar adalah penguasaan kecakapan untuk memproyeksikan dan menggunakan objek-objek memori.


Belajar Bukanlah Penguasaan Obyek-obyek
Perlu diingat bahwa memori atau ingatan merupakan re-konstruksi (penyusunan kembali) atau re-kreasi (penciptaan kembali) pengalaman masa lalu. Objek-objek memori tidaklah tergambar secara utuh sebagaimana objek sebenarnya, karena wujudnya memang tidak sesempurna objek aslinya. Memori tidak dapat digali oleh Sensorimotor Self. Inilah yang membedakan memori dengan persepsi. Perlu diingat kembali bahwa objek memori tidaklah disimpan dan tidak diambil dari suatu tempat. Hal ini penting untuk memahami belajar. Dalam bahasa yang umum, belajar meliputi “penguasaan” fakta-fakta atau kecakapan berperilaku. Di sini, sasaran belajar adalah mencerap dan mencamkan sesuatu. Ini keliru. Kemampuan menguasai adalah suatu kecakapan belajar, bukannya sasaran belajar. Sasaran itu objektif, sementara kecakapan merupakan sesuatu yang subjektif. Kecakapan adalah kemampuan subjekif untuk memproyeksikan objek memori secara tepat. Dalam konteks ini, segala kegiatan belajar merupakan “kegiatan belajari-itu-sendiri”, yaitu suatu perubahan dalam kegiatan yang subyektif.


Perbedaan Belajar dengan Memori
Memori adalah belajar yang pada akhirnya menjadi usaha memelihara apa yang sudah dipelajarinya. Belajar merupakan suatu aktivitas kesadaran yang memungkinkan berlangsungnya tahapan-tahapan memori. Dengan belajar Anda bisa mengingat sesuatu. Terdapat batasan yang tegas antara belajar dan memori. Dalam belajar, subyektivitas mengalami perubahan-perubahan. Acapkali dalam pelaksanaan belajar tertentu terjadi beberapa perubahan kecil. Setiap perubahan itu disimpan sebagai obyek memori, dan beberapa di antaranya dikembangkan lagi. Pada tahap kapa belajar menjadi memori? Berikut diuraikan perbedaan belajar dan memori yang bisa kita sepakati. Bisa kita katakan bahwa ketika bel tanda pulang terdengar dan kegiatan kelas berakhir, belajar telah menjadi memori. Tidak ada garis batas yang tegas. Memori bermula saat kegiatan belajar berakhir -–suatu yang berangkai, berkesinambungan.

Sekilas tentang Tiga Jenis Belajar
Belajar merupakan suatu topik besar yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori; yakni belajar sensori motor, belajar sosial, dan belajar transendental. Belajar dalam konteks Sensori Motor Self oleh para ahli psikologi kerap disebut “kondisioning.” Kondisioning adalah semacam proses belajar yang ditunjukkan oleh hewan laboratorium yang mengeluarkan air liur saat bunyi bel terdengar, lalu tersodor makanan di bakinya. Atau proses larinya binatang melewati lorong untuk memperoleh sekerat daging. Dalam menjelaskan pembelajaran pada hewan, secara tradisional teori ini kurang dapat memberikan argumentasi yang logis bila ditarik pada konteks mental hewan tersebut. Proses pembelajaran hewan dapat diterangkan dalam istilah “kondisioning” atau “pengkondisian” pada sistem saraf atau refleks –suatu proses biologis yang tidak mengikutsertakan pikiran atau kesadaran reflektif. Hewan belajar lewat keterampilah jasmani tanpa adanya selfconsciously (kesadaran terhadap dirinya sendiri). Oleh karenanya, kita pun menyangsikan apakah benar hal ini termasuk proses belajar juga. Dalam paham Realisme Generatif, proses ini disebut belajar atau pembelajaran sensori motor.
 

Social Self Learning atau Belajar Sosial menyertakan kemampuan reflektif, self-aware Social-self (kesadaran diri sosial) dan berlangsung dalam lingkup intra-subyektivitas. Dalam ranah belajar sosial, kita dapat mempelajari bahasa, peniruan sosial, memorisasi, berpikir, dan pemecahan masalah. Aliran belajar social-self berbeda dengan aliran kondisioing yang bersikukuh bahwa semua belajar haruslah menjadi sesuatu yang reflkes (reflexology). Aliran inipun mempengaruhi masalah konseptualisasi kepuasan sosial.


Transcendental Self Learning
Belajar Transendental bukan merupakan proses kesadaran-diri, karena proses pembelajaran ini tidak bersifat reflektif seperti juga pembelajaran diri sensori motor. Namun demikian, Social Self bisa menjadi Transendental-Self, dimana perubahan-perubahan transendental subyektif bisa dikonseptualisasikan oleh Social Self, yang kemudian kita kenali dan kita maknai sebagai proses belajar yang berkembang sepanjang hayat dan sepanjang adanya kematangan psikologis.


Belajar Sensori Motor
Belajar Sensori Motor adalah penguasaan untuk mengkoordinasikan tujuan dan penggunaan suatu objek (sasaran). Namun, analisis lebih cermat mengungkapkan bahwa koordinasi tidak berbeda dengan diskriminasi perseptual yang biasa. Sensori Motor adalah upaya mencerap suatu situasi yang kompleks, yakni suatu proses individu dalam mendiskriminasikan atau memilah penggalan-penggalan situasi dari suatu situasi yang tadinya utuh. Menurut Realisme Generatif, semua proses belajar berlangsung dalam pembelajaran sensori motor.
 

Dalam psikologi ada tradisi lama, yaitu studi proses belajar pada hewan di labo­ratorium yang mengacu pada karya Pavlov (1927) yang terkenal dengan “air liur anjing”-nya. Dengan asumsi bahwa proses belajar hewan hampir sama dengan proses belajar sensori motor yang dilakukan manusia, ekserimen-eksperimen laboratorium tersebut layak untuk dibahas. Namun, pola belajar pada hewan ini agaknya perlu dianalisis ulang dalam batasan diskriminasi perseptual atau pemilahan perseptual.


Kondisioning Klasik: Sudut Pandang Seekor Anjing
Aliran Pavlovian atau kondisioning klasik bukanlah sejenis kondisioning murni. Bukan pula sejenis refleksologi, sebagaimana dirujuk oleh Pavlov sendiri. Sebenarnya, paradigma laboratoris ini nyaris tak bisa dimasukkan ke dalam kategori belajar. Serupa dengan proses mempersepsi suatu objek yang kompleks, yang dalam hal ini adalah persepsi terhadap makanan dan bunyi bel. Anjing mengeluarkan liurnya karena adanya objek tadi. Ketika bel dibunyikan tanpa penyajian makanan, pada awalnya air liur anjing keluar.Tapi dengan kemampuan anjing itu melakukan proses persepsi diskiminasi yang amat cepat terhadap kaitan antara bunyi bel dan tersajinya makanan, maka air liur anjing tak terus keluar ketika bel berbunyi. Jadi, proses ini dan juga proses belajar sensori motor hanyalah semacam contoh dari proses diskriminasi perseptual semata. Sebab, pada mulanya anjing belum bisa memilah dua komponen dari suatu objek bila kedua komponen itu disajikan sendirisendiri. Proses diskriminasi terjadi ketika keduanya disajikan berulang-ulang. Proses seperti ini merupakan proses diskriminasi perseptual yang biasa, sebagaimana yang akan kita bahas nanti pada bagian Persepsi.
Paradigma utama yang lain dari pembelajaran sensori motor adalah instrumental learning. Menurut model ini, sebuah perilaku cenderung akan diulang, bila perilaku tersebut diberi reward positif secara konsisten. Itulah makanya, anak tak boleh nonton TV sebelum mengerjakan PR, misalnya. Pemberian reward pada perilaku tertentu adalah yang dimaksud dengan pembelajaran atau pengajaran instrumental. Mengapa lumba-lumba di Sea World selalu mendekati snack ikan setiap kali melompat melewati lingkaran? Itulah pemberian reward dari proses pembelajaran instrumental. Reward akan memperkuat sebuah perilaku yang dipelajari/diajarkan.
Seperti kondisioning klasik, pembelajaran instrumental dapat kita pahami sebagai sejenis diskriminasi perseptual. Sensori Motor Self dapat memilah suatu situasi yang tadinya utuh menjadi komponen-komponen yang lebih simpel. Bila salah satu komponennya berurutan, maka tidak akan terjadi masalah. Misalnya, Anda harus membuka tutup toples sebelum Anda mengambil kue. Sama seperti anak Anda yang harus mengerjakan PR dulu sebelum boleh menonton TV. Pola hubungan antara objek dengan respeknya pada kinerja hewan merupakan objek tujuan yang terpilah-pilah. Bila proses pemilahan objek itu merupakan suatu yang wajar terjadi dalam lingkungannya, maka hal itu tidak menjadi suatu yang sulit bagi semua makhluk. Sebagaimana hewan yang harus menangkap mangsa sebelum bisa makan. Yang menjadi masalah adalah cara melakukannya.
Pada akhirnya, pembelajaran sensori motor menjadi kurang bergaung ketika diperbandingkan dengan proses persepsi sensori motor. Perancangan pembelajaran kondisioning klasik dan pembelajaran instrumental merupakan metodologi laboratoris yang amat khusus untuk menstudi proses diskriminasi perseptual sensori motor. Pandangan ini berbeda dengan pandangan pembelajaran sensori motor yang standar. Karena, dalam paham Realisme Generatif, persepsi adalah suatu aktivitas ekplorasi tubuh secara utuh. Adapun dalam pandangan tradisional, persepsi dipandang sebagai sejenis proses “deteksi” dan “pemrosesan” sensasi yang pasif. Oleh karena itu, proses diskriminasi perseptual yang mellbatkan aktivitas otot, bahkan kelima indera, diklasifikasikan secara khusus sebagai “belajar.” Dalam paham Realisme Generatif, proses itu hanya merupakan pandangan tradisional yang keliwat kuno dalam memahami persepsi.


Persepsi, Belajar, dan Memori
Saya tak bermaksud mengatakan bahwa belajar sensori motor tidak berguna sama sekali. Kita tidak belajar tentang segala yang kita lihat. Apa sih yang membuat proses persepsi menjadi obyek memori (sebagai sesuatu yang dipelajari)? Jawaban singkatnya adalah performance atau kinerja. Perbedaan sensori motor dengan persepsi sensori motor terletak pada tigkatan eksplorasi tubuh yang terlibat dalam proses eksplorasi. Propriosepsi, yaitu persepsi tubuh terhadap aktivitas, adalah proses memilah komponen sebuah situasi perseptual dengan situasi perseptual lain atau suatu bagian objek dengan bagian objek lain dalam satu situasi yang utuh. Namun proprioseptik melekat pada kita karena tubuh merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kita. Aktivitas eksploratoris merupakan bagian dari perilaku dan deretan tujuan kita. “Kesiapan” kita untuk memutuskan suatu kinerja adalah bagian dari tujuan perseptual terhadap suatu situasi.

Motivasi untuk Belajar
Bagaimanakah kesiapan sensori motor yang kita miliki bisa membentuk memori? Memori itu “tersimpan” di alam/lingkungan, bukannya pada makhluk itu sendiri. Bila suatu situasi lingkungan terbuka kembali untuk proses eksplorasi perseptual, situasi itu akan dieksplorasi lagi, dalam corak yang sama. Itulah memori. Situasi itu telah siap untuk menarik minat atau maksud si makhluk. Berbagai kemungkinan dan struktur lingkungan memicu munculnya perilaku eksplorasi yang terstruktur dalam sensorimotor self. Dari sekian banyak cara untuk mengekplorasi situasi-situasi perseptual, biasanya yang dilakukan si makhluk hanya satu cara semata. Sekali situasi itu tereksplorasi oleh makhluk tadi, maka ia akan berusaha mengulanginya lagi dengan cara yang sama.
 

Tujuanlah yang memotivasinya, dan persepsl adalah yang dimotivasinya. Jika pembelajaran sensori-motor merupakan pembelajaran perseptual, maka motivasi diperlukan dalam belajar. Sensori-motor Self pastilah “menarik” untuk dibicarakan, dalam kaitannya dengan proses mengeksplorasi lingkungan. Kita bisa berkata, “Anda tak bisa belajar jika Anda tidak memperhatikan”. Sensorimotor Self mengungkapkan kemenarikan (interrest), atau dalam hal ini tujuan (intentionality), terhadap suatu objek dengan mengeksplorsinya. Namun, paham Realisme Generatif tidak menganggap penting motif “biologis” seperti lapar dan haus. Semua motif adalah motif psikologis, yang muncul dari motif transendental. Beberapa motif dipenuhi atau dipuaskan dengan kesiapan yang lebih (more readily) lewat salah satu sistem eksplorasi –-misalnya dengan penglihatan saat menonton film, atau gerakan saat lari. Motivasi dapat diungkapkan dengan sistem ekplorasi yang paling sesuai dan paling cepat untuk memuaskan. Tetapi semua motif merupakan fenomena kesadaran, dan semuanya diwujudkan dalam Sensorimotor Self dengan mengekplorasinya.


Apa Perbedaan Praktik dengan Exercise (Latihan)?
Selama persepsi merupakan tindakan yang majemuk atau beragam, seperti yang dilakukan Sensorimotor Self dalam memilah suatu situasi yang utuh ke dalam bagian-bagian, maka pemilhan itu akan berlangsung terus menerus. Pada gilirannya nanti, hal ini akan menggiring kita pada pola gilir subjektivitas dan objektivitas. Mengulang (meghafal) dan praktik adalah hal yang amat keliru dalam belajar. Memilah tidak sama dengan mengulang. Dengan mengulang, proses persepsi tidak dapat mengubah pilahan objektivitas (yang berupa sasaran) menjadi pilahan subjektivitas (yang melekat pada diri). Proses pemilahan seperti itu tidak bisa mengulang proses perubahan. Alhasil, kegiatan praktik menjadi suatu “hil yang mustahal”.
Apa yang dipraktikkan observer adalah sesuatu yang nyata dari sudut pandang kesadaran. Itu merupakan kumulatif tindakantindakan dari suatu peralihan ontologis yang masingmasing memiliki keunikan. Sedangkan latihan merupakan tindakan mengulang-ulang yang dilakukan karena arah objeknya kurang spesifik. Dalam suatu latihan senam, misalnya, setiap orang menonton TV yang memperagakan cara menaik-turunkan beban atau menjalankan mesin pemberat. Sedangkan tujuan latihannya sendiri kurang diperhatikan. Bandingkanlah dengan latihan pukulan bola pertama dalam golf. Di sini, objek dari sensorimotor yang dituju merupakan hasil dari persepsi dan gerakan yang kompleks. Dengan beragam upaya, komponen-komponen sensori dan situasi motorik yang kecil itu dipilah-pilah dan didayagunakan. Pecobaan untuk menyempurnakan swing dalam golf bukanlah latihan, walaupun itu dilakukan berulang-ulang; tapi itu merupakan proses belajar. Beberapa atlet besar berujar bahwa mereka “tidak pernah” praktik, tetapi belajar terus-menerus. Dari analisis ini, dapat kita lihat apa yang mereka maksud.

Belajar atau Persepsi: Sesuatu yang Berjenjang
Kalangan umum menyebutkan bahwa secara implisit belajar adalah muscular affair (peristiwa otot): belajar adalah keterampilan mempelajari. Dalam analisis pembelajaran sensorimotor diungkapkan bahwa keterampilan mempelajari hanya merupakan satu kasus diskriminasi perseptual. Kendatipun telah seabad dilakukan eksperimen laboratorium dan teori “pembelajaran hewan” dibangun, nyatanya hal itu kurang bermakna. Semuanya itu adalah proses persepsi. Dalam pemahaman sensorimotor learning, persepsi dan belajar merupakan kelanjutan dari preprioseptik. Muncullah hal yang tidak konsisten. Bila tubuh melakukan banyak eksplorasi, kita anggap itu sebagai fenomena belajar. Sedangkan bila eksplorasinya sedikit, itu dikatakan sebagai “persepsi”. Pengalaman yang jumlahnya banyak pada proses belajar akan menjadi objek memori, objek tubuh secara keseluruhan akan mempertegas tujuan sensorimotor serta mendorong dilakukannya ekplorasi. Pada prinsipnya, perbedaan ini hanyalah berupa jenjang (hal yang bertahap).
Saat kita bergerak dari kecakapan fisik ke arah “kecakapan sosial” yang metaforis, kita temukan bahwa belajar itu tidak sama dengan persepsl. Perbedaan keduanya merupakan fenomena kualitatif.

Belajar Sosial
Tidak seperti Sensorimotor Self, Sosial Self bersifat linguistis, konseptual, reflektif, dan intersubjektif. Social Self Learning atau belajar sosial meliputi belajar intelektual, pembentukan konsep, pemecahan masalah, dan reconceptualization (pengkonsepan ulang). Saat kita membaca sebuah buku atau membuka situs internet, yang tengah kita lakukan adalah mempelajari sesuatu. Nah, di manakah letak komponen sosial dalam proses belajar seperti itu?

Intersubjektivitas
Inter-subektivitas merujuk pada fakta bahwa seseorang dapat mengenali bagian dari kesadaran dirinya sendiri pada orang lain. Pada level paling primitif, hal ini terjadi ketika seseorang menerima dirinya menjadi bagian dari suatu kelompok. Penerimaan ini merupakan atribut penting dari Transendental Self. Bila seseorang tidak menerima, tidak mengetahui atau tidak mengingat bahwa ia merupakan bagian dari suatu kelompok, maka intersubjektivitas mungkin tak akan terjadi. Makna keanggotaan merupakan perbedaan utama dari objketivitas dan subjektivitas. Dalam konteks intersubjektivitas, perbedaan itu tidaklah hitam-putih sifatnya. Karena, “saya” pasti merupakan bagian dari “kami” dan “kita”. Intersubjektivitas merupakan subjek yang dapat mengenali kesubjektifannya sendiri. Sebagaimana tercermin dalam ungkapan “saya adalah salah satu dari sekian banyak orang,” “Ini semua adalah orang-orang kami,” “saya adalah anggota tim”.
 

Bahasa hanya bisa dikuasi melalui proses intersubjektivitas, tak ada bahasa tanpa intersubjektivitas. Karena perkembangan social self tergantung pada bahasa, maka Social Self pun tergantung pula pada intersubjektivitas. Konseptual­isasi membutuhkan Social Self, tidak ada konseptual dan pembelajaran intelektual tanpa adanya intersubjektivitas. Jadi, intersubjektivitas adalah kunci untuk belajar sosial.


Makna Sosial
Kesalahkaprahan Realisme Generatif adalah ketika mendefinisikan istilah “sosial.” Penguasaan bahasa yang alami jelas sekali sifat sosialnya, karena kita memang harus mempelajari bahasa sebelum bisa menguasainya. Tidak ada cara lain bagi orang untuk mempelajari bahasa asing pertama kali, apakah itu melalui buku ataupun metode lain, selain melalui orang yang menggunakan bahasa itu. Bahasa adalah perantara budaya. Intersubjektivitas dibutuhkan untuk mempelajarinnya. Setelah ada loncatan besar, di mana sosialisasi dan pembelajaran bahasa menjadi lebih baik, maka makna “sosial” merujuk pula pada objek sosialnya –yakni konseptualisasi terhadap orang lain. Misalnya seorang anak yang berupaya untuk meraih cita-citanya yang tinggi supaya “orangtuanya merasa bangga akan dirinya,” bahkan ketika orangtuanya sudah wafat. Konseptualisasi mengenai makna orang tua adalah salah satu makna “sosial”, selama hal itu ada di wilayah kesadarannya.
 

Oleh karena itu, belajar melalui buku atau internet merupakan kegiatan sosial juga. Sebuah buku merupakan produk dari bahasa, yang diciptakan oleh sumber daya manusia dalam bentuk ungkapan bahasa. Membaca sebuah buku sama saja layaknya dengan menyimak pembicaraan seseorang. Walaupun penulis buku itu tidak hadir secara fisik bukan berarti nilai sosialnya menjadi hilang. Buku, penulis, dan pembacanya, serta bahasa adalah objek-objek sosial. Dalam Realisme Generatif, “sosial” tidak menuntut wujud secara fisik dan kehadirannya berlangsung dalam saat bersamaan. Yang begini adalah makna dari intersubjektif bukannya makna sosial.
Objek-objek yang dipergunakan dalam membaca sebuah buku adalah objek sosial. Dalam hal ini adalah representasi dari seseorang, atau minimal bagian dari seseorang berikut pengalamannya. Bahasa yang digunakan memperantarai wujud objek-objek konseptual, yang merupakan abstraksi dari objek sosial. Dengan demikian, peristiwa sosial diwakili oleh bahasa ketimbang wujud fisik orang tersebut. Pada bagian yang membahas “pikiran” dijelaskan bahwa mulanya buku dianggap sebagai sesuatu yang solitary, ‘terkucil’, dan bukan merupakan kegiatan sosial. Namun dalam kenyataannya, dengan membaca buku Anda dipacu untuk terlibat dalam kegiatan sosial secara lebih mendalam. Sekarang Anda paham bahwa dalam kegiatan membaca buku Anda lebih banyak menggunakan objek konseptual yang berwujud bahasa ketimbang kehadiran wujud objek sosial yang sebenarnya.


Kepuasan Sosial
Kepuasan dalam Sosial Self selalu bersifat sosial. Kemampuan untuk menghasilkan dan menggunakan kembali objek-objek konseptual akan memberi sedikit kepuasan moivasional tetapi lebih ajeg sifatnya. Memang itu tampak kurang menantang. Tapi di situ adalah nilai yang tersembunyi. Kepuasan tersebut dapat dicantolkan ke dalam kepuasan sosial yang lebih besar, yakni dalam lingkup intersubjektivitas. Cantolannya adalah bahasa.
Objek bahasa adalah objek yang agak konseptual dan diwujudkan dalam bentuk bunyi atau tulisan, sehingga bisa diterima oleh orang lain. Bila Anda tidak memiliki objek konseptualnya, maka bahasa tidak akan bermanfaat bagi Anda. Karena bahasa tanpa objek konseptual adalah mustahil. Oleh karena itu, tindakan membeo (parrot fashion) bukanlah kegiatan berbahasa, karena bunyi yang dihasilkannya tidak disertai objek konseptualnya. Membeo layaknya baju yang ada di gantungan. Begitu diungkapkan paham Realisme Generatif.
Bila Anda adalah pengguna sebuah bahasa, Anda dapat menggunakan objek konseptual Anda itu lalu melontarkannya ke dalam masyarakat intersubjektif. Ini merupakan cara yang amat efisien untuk memelihara dan meningkatkan intersubjektivitas. Alih-alih bak pasir hanya dimanfaatkan sebagai media bermain, dengan membicarakan apa itu bak pasir dan bagaimana cara bermainnya melalui medium bahasa, maka kemampuan intersubjektivitas bisa lebih bisa dikembangkan. Dan hal itu dapat dilakukan sambil bermain pula. Kegiatan seperti Itu memiliki faedah motivasonal tersembunyi bagi proses belajar sosial.
 

Walau memiliki keterbatasan, objekobjek konseptual cukupmemadai dan bisa memuaskan. Objek-objek itu dapat disertakan ke dalam bahasa dan banyak berpengaruh pada kepuasan sosial. Dengan bahasa kita dapat menulis sebuah puisi atau rayuan pada kekasih, misalnya. Atau kita dapat meletakkan objek konseptual itu dalam membicarakan masalah politik atau kampanye agar kita bisa menang dalam sebuah pemilihan. Nilai yang amat tinggi dari objek konseptual ini tidak hanya terletak pada penggunaan-ulangnya semata. Nilai objek konseptual terletak dalam penggunaan bahasa yang dapat mengakses objek-objek intersubjektif [misalnya orang-orang]. Ketika dialihkan ke subjektivitas, banyak upaya yang harus kita lakukan untuk mencapai kepuasan, karena sifat subjektivitasnya masih amat murni.


Terima kasih telah membaca artikel ini.
Jangan lupa tuliskan komentar Anda!

Tidak ada komentar: