Selasa, 02 Oktober 2007

SEBAB-MUSABAB AUTISM

Riset terbaru mengenai penyebab gangguan aneh ini
difokuskan pada masalah gen yang mengontrol
perkembangan otak


Patricia M. Rodier


Autism masih merupakan suatu hal yang memukau para ilmuwan selama lebih dari setengah abad. Kompleks perilakunya meliputi simptom-simptom beragam, yang kebanyakan muncul sebelum anak menginjak usia tiga tahun. Anak autism tidak dapat menginterpretasikan ke-adaan emosi orang lain, memahami suasana tegang atau marah, sedih atau perasaan men-dalam lainnya. Kemampuan berbahasanya amat terbatas, sehingga mereka sering mengalami kesulitan untuk memulai percakapan. Mereka juga sering manampakkan keasyikannya mela-kukan suatu kegiatan atau objek tertentu, maupun melakukan isyarat yang itu-itu saja.
 

Pola perilaku seperti itu akan menguras tenaganya. Bagaimana kiranya Anda dapat memasukkan anak tersebut ke dalam kelas apabila Anda tidak dapat mencegahnya agar tidak membentur-benturkan kepalanya ke meja? Bagaimana ia mau bergaul dengan Anda apabila Anda tak mengerti apa yang diinginkannya? Bila anak autism itu juga mengalami MR –seba-gaimana kebanyakan di antaranya– diperkirakan kondisinya akan kian buruk. Terapi perilaku (behavior therapy) akan dapat memperbaiki kondisi sebagian di antara mereka, tetapi mustahil terapi itu dapat membebaskan mereka dari seluruh simptom autistiknya, biarpun mereka memiliki IQ normal.
 


Keterlibatan saya dalam riset tentang penyebab autisme relatif masih baru, dan bisa dikatakan hampir kebetulan. Sebagai seorang embriolog (dokter ahli kandungan dan janin), awalnya saya lebih terfokus pada hal-hal berkenaan dengan berbagai gangguan persalinan yang berimplikasi pada gangguan otak. Enam tahun lalu, 1994, saya menghadiri suatu konferensi ilmiah yang secara khusus membahas gangguan persalinan. Dua orang ahli pedriatik-oftalmologi (kedokteran anak dan penyakit mata), yakni Marilyn T. Miller, dari Universitas Illinois Chicago, dan Kerstin Strömland dari Universitas Götenborg Swedia, menguraikan hasil penelitiannya yang mengejutkan mengenai gerak-mata pada anak yang dilahirkan ibu pengguna thalidomide. Thalidomide merupakan obat anti mual bagi para ibu hamil yang ternyata menyebabkan kesulitan persalinan. Obat ini lazim digunakan para ibu hamil sekitar tahun 1960-an. Subjek penelitian tersebut adalah orang-orang dewasa yang saat dikandung ibunya menggunakan obat-obatan tersebut. Hasil pemeriksaan, Miller dan Strömland menolak hasil penelitian-penelitian sebelumnya. diungkapkan bahwa sekitar lima persen dari pengguna thalidomide melahirkan anak autism. Suatu angka yang 30 kali lebih tinggi dari populasi pada umumnya.
 

Ketika saya mendengar hasil penelitian ini, saya terkejut. Saya bingung dan mulai berubah pikiran. Dalam mengidentifikasi penyebab autism, sudah lama para periset mencari landasan yang tepat mengenai kapan gangguan itu bermula. Spekulasinya, awalnya difokuskan pada akhir masa kehamilan sampai awal masa pasca-lahir sebagai waktu penting. Sayangnya, tidak begitu banyak bukti yang mendukung hipotesis ini. Mengaitkan autism dengan thalidomide seakan suatu lontaran cemerlang yang tiba-tiba memperjelas masalah. Dengan demikian, diduga kuat bahwa autism bermula pada minggu-minggu pertama kehamilan, yakni saat otak sang janin mulai berkembang. Sungguh, hasil karya Miller dan Strömland itu amat meyakinkan saya sehingga misteri autism dapat segera terpecahkan.

Faktor-faktor Genetik
Sedikitnya 16 bayi dari setiap 10.000 kelahiran adalah bayi autism atau bayi yang mengalami gangguan yang terkait dengan autism [lihat Box hlm.42]. Sejak pertama kali autism diper-kenalkan pada tahun 1943, para ilmuwan membuat langkah besar dalam menggambarkan simptom-simptomnya. Landasan biologis pada autism memang sulit dipahami. Dan inilah yang menghambat para periset dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan autism dan membuat rancangan treatmennya.
 

Dengan memeriksa gangguan-gangguan bawaannya, para peneliti menunjukkan bahwa autism terdapat dalam lingkup pertalian keluarga, walaupun belum jelas benar polanya. Saudara kandung dari anak autism berpeluang 3-8% memiliki jenis gangguan yang sama. Angka ini lebih besar dari resiko yang dialami populasi pada umumnya, yaitu 0,16%. Namun angka itu pun jauh di bawah peluang 50%, sebagaimana umumnya penyakit turunan yang disebabkan oleh mutasi dominan tunggal, di mana salah satu gen yang cacat diturunkan oleh salah satu orangtua menjadi penyebab kelainan tersebut. Atau 25% peluang sebagai akibat mutasi resesif singel, dalam mana salinan dari gen yang cacat diturunkan dari kedua orangtuanya.
 

Tidak semua simptom autism akan muncul pada tiap anak autism. Walaupun ini terkait dengan keragaman anak autism, untuk beberapa alasan faktor-faktor genetik tidaklah secara utuh tampak pada individu-individu tersebut.
 

Penelitian pada anak kembar di Universitas Rocherster menegaskan bahwa autism mempunyai unsur-unsur bawaan/turunan, tetapi faktor lingkungan pun berperan juga. Misalnya, jika faktor-faktor genetik tercakup, anak kembar identik (monozygot) yang terbelah dari gen-gen yang sama, mempunyai peluang 100% dalam diagnosisnya. Dalam hal ini, jika salah satu dari kembaran tersebut autism, kembaran yang satunya lagi hanya berpeluang 60% untuk memiliki bentuk gangguan yang sama. Sementara peluangnya untuk mengalami gejala-gejala autism adalah 86%. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor-faktor lain pasti turut memodifikasi, turut memberikan predisposisi genetik untuk mengalami gangguan.
 

Embriologi Autism
Beberapa resiko faktor lingkungan telah kita ketahui. Terserang penyakit rubela (cacat Jerman) saat mengndung atau persalinan yang sulit akan menyebabkan zat-zat seperti etanol dan asam valproic meningkatkan kemungkinan kelahiran anak autism. Orang yang mengidap penyakit keturunan tertentu, seperti fenyketonuria dan tuberus sclerosis juga berpeluang lebih besar untuk melahirkan anak autism. 


Namun, faktor-faktor tersebut belum terbukti kebenarannya pada kasus-kasus lain. Di samping itu, bila yang dilahirkan adalah bayi kembar maka kebanyakan penyakit akan menyerang pada kedua kembaran-nya. Beberapa faktor lingkungan pasti lebih banyak beragam pengaruhya ketimbang yang telah diketahui saat ini. Sampai sekarang, para periset belum tahu seberapa besar kontribusi faktor-faktor itu mempengaruhi orang-orang tertentu, soalnya pada orang lain tidak ada pengaruhnya. Variasi ini mempersulit upaya penelitian mengenai penyebab utama autism.
 

Dalam penelitiannya, Strömland dan Miller menambahkan kontributor lain yang berasal dari lingkungan terhadap gejala autism, yaitu penggunaan thalidomide oleh ibu hamil. Subjek penelitian mereka adalah orang-orang yang lahir pada tahun 1950-an sampai awal 1960-an yang menampakkan mal-formitas (kelainan bentuk) pada lengan dan tungkai serta meng-alami disfungsi neurologis pada otot mata dan wajah.
 

Karena para ilmuwan mengetahui organ mana yang berkembang pada embrio (janin) menurut tahapannya, maka mereka pun dapat menentukan dengan tepat waktu malformitas itu terjadi. Di antaranya, kelainan tungkai terjadi pada 22 hari setelah konsepsi, telinga pada 20 hari setelah konsepsi, sedangkan kelainan lengan dan kaki terjadi pada 25-35 hari setelah konsepsi.
 

Lebih menariknya lagi, penelitian Strömland dan Miller menemukan bahwa kebanyakan korban thalidomide memiliki kelainan pada telinganya, sedangkan pada tungkai dan lengannya tidak terdapat kelianan. Pola ini menunjukkan bahwa subjek mengalami injure (kerusakan atau kecacatan otak) pada masa awal kandungannya –yaitu sekitar 20-24 hari setelah konsepsi, yakni sebelum si ibu sadar bahwa dirinya sedang mengandung.
 

Bagi para embriolog, yang dipahaminya adalah kapan terjadinya proses perkem-bangan janin bukannya apa yang terjadi pada janin. Pada kasus induced thalidomide autism, periode kritisnya terjadi lebih awal ketimbang yang diperkirakan para peneliti lain. Paling awal, saraf terbentuk pada masa kandungan memasuki minggu keempat. Saraf-saraf tersebut kebanyakan berupa saraf motorik yang terdapat dalam rangakaian nervus kranial (saraf kepala), yang sebagian di antaranya mengatur otot mata, wajah, dagu, telinga, tenggorokan dan lidah. Sel-sel saraf itu terletak di batang otak, suatu area antara spinal cord (sum-sum tulang belakang) dan otak tengah. Karena masa perkemba-ngan saraf motorik ini sama dengan perkembangan telinga luar, maka kita bisa memperkirakan bahwa autism yang diakibatkan oleh thalidomide mengalami disfungsi pada saraf kranial. Strömland dan Miller menegaskan bahwa semua anak autism memiliki kelainan pada gerakan mata atau ekspresi muka maupun keduanya.
 

Pertanyaan logis berikutnya, “Apakah kasus autism yang disebabkan oleh thalido-mide sama dengan anak autism yang penyebabnya belum diketahui?” Terlepas dari bentuk perilakunya, acapkali anak autism digambakan sangat atraktif. Mereka memiliki tinggi badan yang normal. Proporsi ukuran kepalanya pun nomal. Beberapa studi tentang bentuk non-perilaku anak autism menyimpulkan bahwa mereka mempunyai penyimpang-an yang jelas pada tubuh dan persarafannya. Inipun terjadi pada anak autism yang diakibatkan oleh thalidomide. Misalnya yang terdapat pada telinga bagian luarnya, terutama pada bagian lingkar atasnya. Bagian ini cenderung terkulai ke belakang lebih dari 15 derajat. Hal ini umum terjadi pada anak autism, anak MR, dan saudara-saudara dari anak autism.
 

Biologi Saraf Autism
Mungkinkah semua gejala ini muncul karena penyimpangan fungsi saraf kranial? Barangkali tidak, karena disfungsi saraf anak autism cenderung merupakan akibat dari injury dini yang tidak hanya mempengaruhi kinerja saraf kranial tetapi juga memiliki akibat sekunder paa perkembangan otak selanjutnya.
 

Injury pada batang otak akan mengganggu perkembangan otak lailnnya. Akibatnya, anak-anak autism menampakkan gangguan fungsi bicara, yang merupakan fungsi luhur otak. Agaknya, kelainan bentuk telinga dan disfungsi saraf kranial merupakan efek samping dari kerusakan lain yang belum kita ketahui. Apapun kemungkinannya, kelainan pada anak autism yang penyebabnya belum kita ketahui sama dengan anak autism yang disebabkan oleh thalidomide. Kesimpulannya jelas, kebanyakan kesulitan autism (artinya tidak seluruh anak autism) bermula dari perkembangan masa dini kandungannya.
Batang otak merupakan bagian yang terkena pengaruh thalidomide. Area ini amat jarang diteliti dalam kaitannya dengan masalah autism maupun gangguan lain akibat kerusakan otak. Secara sederhana, para ahli biologi saraf mengaiitkan fungsi batang otak dengan pelbagai fungsi dasar seperti pernafasan, pencernaan, keseimbangan, kordinasi motorik, dan seterusnya. Beberapa gangguan perilaku pada anak autism, seperti dalam perencanaan bahasa dan penafsiran isyarat sosial diyakini dikontrol oleh fungsi luhur otak, dalam hal ini yaitu korteks otak dan hipokompus yang terletak di lobus frontalis (otak bagian depan).
 

Hingga kini gejala-gejala autisme seperti wajah yang kurang ekpresif, tubuh yang keliwat peka terhadap sentuhan dan bunyi serta gangguan tidur, diyakini bermula dari area otak yang mengatur fungsi-fungsi dasar di atas. Adapun, dari pengamatan yang konsisten terhadap ketidaknormalan otak anak autism, ternyata pada area frontalis mereka tidak trdapat penyimpangan. Hanya saja, di bagian cerrebelum (otak kecil) jumlah sarafnya lebih sedikit. Cerebellum merupakan bagian otak yang mengatur fungsi kontrol gerak.
 

Salah satu hal yang membingungkan para ahli otak yang meneliti anak autism adalah adanya anggapan bahwa lokasi area yang mengatur fungsi gerakan itu goyah. Sebagai catatan, kelompok lab yang dipimpin oleh Eric Courchesae dari Universitas California San Diego, mengungkapkan bahwa bagian dari cerebellum menunjukkan keaktifan ketika individu melakukan tugas tetentu yang membutuhkan proses kognitif tingkat tinggi. Kesulitan lainnya adalah karena gejala autism sangatlah kompleks. Bila penyimpangan perilaku yang tampak lebih sederhana dan mudah didiagnosis, agaknya para peneliti akan mudah mengidentifaiksi sumber gangguan tersebut pada sistem sarafnya [lihat Box].
 

Pada tahun 1995, tim riset kami memperoleh kesempatan untuk menindaklanjuti penelitian thalidomide dengan memeriksa batang otak anak autism. Jaringan otak yang dijadikan sebagai objek penelitian diambil dari batang otak anak perempuan autism dengan penyebab yang belum diketahui. Anak ini meninggal pada tahun 1970-an dan kebetulan jaingan otaknya diawetkan. Ketika kami memeriksa bagian batang otaknya, kami tertegun. Sebab, ternyata gadis ini tidak memiliki dua struktur saraf, yaitu nukleus wajah yang mengontrol ekspresi muka, dan superior olive, yaitu semacam “stasiun rellay” untuk informasi yang bersifat auditif. Kedua struktu saraf ini pembentukannya berasal dari tabung saraf janin yang nantinya berkembang menjadi sistem saraf pusat. Saraf ini hanya 400 sel, padahal orang normal umumnya memiliki sekitar 9000 sel.
 

Secara keseluruhan, ukuran otak gadis ini memang tidak normal, lebih mungil dan lebih ringan dari otak manusia normal. Dugaan saya, hal ini dikarenakan jumlah saraf yang ada di batang otaknya lebih sedikit. Untuk menguji dugaan ini saya pun mengukur jarak antara-patokan anasteriori sarafnya. Saya takjub, karena ternyata dugaan saya memang benar. Ukuran dari tepi kanan ke tepi kirinya normal, tetapi ukuran dari depan ke belakangnya ada yang kurang. Seakan ada sebuah jaringan yang dipotong dari batang otak, dan sisa bekas potongannya itu dikelim (dilipat) dan ditarik dari belakang sehingga tidak tampak bekasnya.
 

Saya merasa shock untuk kedua kalinya dalam hidup saya. Rasanya telinga saya berdengung, mata saya berkunang-kunang, kepala seakan mau pecah. Ini bukan karena hasil penelitian yang di luar dugaan, melainkan karena saya pernah melihat “pola pemendekan” semacam ini sebelumnya. Hal ini pernah saya baca di sebuah makalah yg memperlihatkan gambar otak tikus yang tidak normal. Ketika saya baca lagi, saya pun menemukan kaitan antara otak gadis yang saya lihat dengan gambar otak tikus di makalah itu. Kedunya sama-sama menampakkan pola pemendekan batang otak, nukleus (inti sel) saraf wajahnya lebih mungil, dan sama-sama tidak memiliki superior olive. Di samping itu, keduanya juga menunjukkan bentuk kelainan tubuh yang berkaitan dengan autism, yaitu telinga keduanya terkulai ke belakang dan sama-sama memiliki kekurangan pada struktur otak yang mengontrol gerakan mata.
 

Apa yang menyebabkan kelainan otak tikus itu? Ternyata bukan karena hal yang berkaitan dengan thalidomide atau pegaruh faktor lingkungan yang lain, tetapi karena faktor genetik. Tikus ini mengalami “KO-transgenik” [mungkin semacam kegagalan pemindahan sifat keturunan –penterjemah]. Mekanisme berkurangnya ekspresi gen ini dikenal dengan Hoxa-1. Para peneliti pun dapat menelah peran gen pada awal masa perkembangannya. Pertanyaannya jelas, “Apakah ini merupakan salah satu gen yang menyebabkan autism?”
 

Banyak literatur yang mendukung ide bahwa Hoxa-1 akan menjadi sesuatu yang luar biasa dalam penelitian tentang autism. Studi tentang “tikus yang KO” tadi menunjukkan bahwa Hoxa-1 berperan penting dalam perkembangan batang otak. Kelompok peneliti di Lake City dan London telah mengkaji perbedaan antara tikus yang KO dengan akibat lain yang serupa. Mereka menemukan bahwa ada sebuah gen yang aktif di batang otak saat pertama kali saraf terbentuk. Yaitu suatu periode yang ditengarai Strömland dan Miller sebagai waktu masuknya thalidomide yang menyebabkan autism. Hoxa-1 membentuk suatu protein yang disebut protein faktor transkipsi yang berfungsi mengatur aktivitas gen-gen yang lain. Hoxa-1 tidak bersifat aktif lagi di suatu jaringan setelah masa kandungan telah terlewati. Jika suatu gen aktif sepanjang hidup, maka fungsinya akan berubah seiring bertambahnya usia. Teori bahwa gen hanya aktif pada masa perkembangan akan menjadi penjelasan yang tepat saat menerangkan kecacatan semacam autism, yang kondisinya menetap setelah melewati masa kanak-kanak.
 

Hoxa-1 diistilahkan para ahli sebagai “gen yang sangat awet”. Suatu rangkaian nuklei yang membuat DNA hanya mengalami sedikit perubahan ketika melewati evolusi. Kita berasumsi bahwa ini merupakan karakteristik gen yang penting untuk kehidupan, yaitu gen yang mengalami mutasi seperti gen lain tetapi tidak mengalami perubahan yang mendasar. Dengan demikian, maka sifat dan kode-kode pentingnya tidak hilang pada generasi gen yang berikutnya. Bila gen-gen lain bentuknya beragam, misalnya gen yang mengkode warna mata atau jenis darah, maka “gen awet” ini bentuknya tidak bervariasi (dikenal sebagai polimorfik allela atau varian allelae). Karena kami tidak pernah menemukan varian dari Hoxa-1 pada spesies mamalia, maka kami memperkirakan bahwa kita akan sulit menemukannya pada orang autism. Atau dengan kata lain, bila varian allela yang lain dapat ditemukan berarti kita mungkin menemukan salah satu dari pemicu terjadinya gangguan perkembangan.
Zerroing pada Hoxa-1
 

Gen versi manusia dinamakan Hoxa-1, terletak di kromosom 7 dan bentuknya relatif kecil. Gen ini hanya berisi dua bagian pengkodean protein (protein coding atau sering disebut exon) serta bagian yang memngatur tingkat produksi protein, atau malah tak melakukan pengaturan keduanya. Penyimpangan pada rangkaian bagian-bagian gen yang normal dapat mempengaruhi kinerjanya. Padahal sebagian besar penyebab penyakit terletak di bagian protein coding itu. Oleh karena itu, kami pun mulai tertarik untuk menelusuri varian allela yang berfokus pada Hoxa-1. Dengan menggunakan sampel darah dari orang autism dan subjek kontrol, kami menelaah DNA dan menemukan penyimpangan bentuk dari rangkaian nucleotid-nya
 

Ada dua kabar yang kami peroleh dari telaah tersebut. Kabar bagusnya, kami dapat mengidentifikasi dua varian allela dari Hoxa-1. Salah satu di antaranya mengalami penyimpangan kecil pada susunan exon gennya. Ini berarti bahwa protein tersebut melakukan pengkodean yang amat berbeda dengan pengkodean yang dilakukan protein gen yang normal. Kami lalu mengkaji penemuan ini dengan lebiih seksama, yaitu dengan menghitung prevalensi beragam kelompok orang untuk menelaah apakah perbedaan tersebut turut menyebabkan autism. Varian allela yang lain sulit kami deteksi karena mengalami perubahan susunan DNA-nya. Ternnyata, varian allela pada anak autism rata-rata lebih tinggi ketimbang saudara-saudaranya, apalagi bila dibandingkan dengan varian allela orang lain yang tidak mengalami gangguan. Dan, perbedaan ini ternyata lebih besar dari yang kami duga sebelumnya.
 

Adapun, berita buruknya adalah karena kami hanya meneliti keluarga yang sudah diprediksi saja. Di samping itu, Hoxa-1 hanyalah salah satu gen saja yang diperkirakan dapat menyebabkan autism. Apalagi, allela yang kami teliti bentuknya beragam, sedangkan keberagaman itu bukan jaminan sebagai penyebab autism. Data awal menunjukkan bahwa varian allela terbentuk pada sekitar 40% orang autism dan 20% orang yang bukan autism. Allela yang memiliki resiko ganda berkembang dalam kondisi seperti itu. Namun demikian, sekitar 60% orang autism tidak memiliki allela. Hal ini menunjukkan bahwa Anda faktor genetik lain yang dipastikan turut mendorong terjadinya kelainan.
 

Dengan adanya bukti-bukti ini kami harus menindaklanjutinya dengan mencari varian lain dari hoxa-1. Sebab, kebanyakan gangguan genetik berasal dari penyimpangan yang berbeda-beda pada allela yang sama. Kami telah menemukan suatu varian lain dari allela hoxa-1 pada suatu gen di kromosom 17. Varian ini mempunyai kesamaan fungsi dalam perkembangan batang otak, namun pengaruhnya terhadap autism tampaknya sangat kecil. Para peneliti lain, yang telah mengadakan penelitian mengenai hal ini dengan lebih cermat, mengajukan suatu region pada kromosom 15 dan region lain yang terletak di kromosom 7. Walaupun penelitian ini difokuskan pada allela yang diperkirakan menambah resiko terjadinya autism, mungkin saja ada allela yang lain yang justru mengurangi terjadinya resiko tersebut. Dengan demikian, bisa dijelaskan mengapa ada spektrum yang beragam pada gangguan-gangguan yang berkaitan dengan autism.
 

Walaupun relatif sedikit, namun pemahaman terhadap faktor genetik dasar yang mempengaruhi autism ini tetaplah bermanfaat. Para periset dapat mentransfer pemahaman mengenai allela yang manusia autism ke subjek tikus –suatu mekanisme genetis yang diperkirakan mempengaruhi gangguan. Dengan menelaahnya, kita dapat mengkaji interaksi faktor-faktor lingkungan dengan latar belakang genetis. 

Atau mungkin dapat memperluas pemahaman kita mengenai zat-zat yang harus dihindari para ibu hamil, terutama pada masa awal kehamilannya. Lebih dari itu, dengan menelaah perkembangan genetis tikus, kita dapat mempelajari gangguan otak yang mendasari terjadinya autism. Jika para periset dapat menemukan apa yang salah pada otak anak autism, maka mereka pun akan dapat merekomendasikan terapi yang dapat mengurangi pengaruh dari kerusakan otak tersebut.
 

Alat tes genetis untuk anak autism, semacam alat tes rits fitrosis, yang telah ditemukan agaknya perlu dimodifkasi dengan memperinci bentuk-bentuk tugasnya. Sebab, banyaknya gen yang turut terlibat dalam gangguan autism akan mempersulit dilakukannya prediksi apa yang menyebabkan gangguan autism tersebut secara tepat. Apalagi bila hanya meng-andalkan pengujian yang seadanya pada satu atau dua varian allela orangtuanya. Adapun, bagi saudara dari orang autism pun perlu diberikan tes, karena seringkali mereka merasa takukt terwarisi gen yang menyebabkan autism. Para ahli klinis dapat mencari dan merancang satu set faktor genetik yang lebih adekuat, baik itu pada anggota keluarga anak autism dan bukan autism. Pengukuran pada hasil tes dari saudara anak autism penting dilakukan untuk meyakinkan mereka bila ia tidak memiliki resiko autism yang berasal dari pihak keluarganya.
 

Apa yang menjadi sebab-musabab autism memang bukan perkara sederhana. Namun, semua faktor yang telah kita ketahui di atas dapat kita manfaatkan untuk menyingkap misteri autisme. Lebih penting lagi, data-data dari penelitian dan penemuan yang baru akan mendorong munculnya hipotesis-hipotesis yang baru pula. Sebagaimana masalah akibat thalidomide yang pada awalnya hanya terfokus pada batang otak, ternyata akhirnya mengarah pada beberapa hal lain, yaitu gen hoxa-1, data baru perkembangan genetik, telaah perilaku, pencitraan otak, dan lain-lain. Bila kesemuanya itu terakumulasi dan dapat tekuak maka akan terjadikejutan-kejutan baru mengenai penelitian autism. Pada saatnya nanti, hal-hal itu akan membantu menyelamatkan penyadang autism dari penderitaannya.


  • Patricia M. Rodier adalah guru besar pada Jurusan Obstetrik dan Ginekologi di Universitas Rochester. Ia telah menstudi gangguan-gangguan perkembangan sistem saraf sejak mengambil gelar pasca-doktoral pada bidang Embriologi di Universitas Virginia. Mulai tertarik menyelidiki autism gara-gara ia mendengar hasil penelitian tentang akibat-akibat dari penggunaan thalidomide. Rodier ada-lah anggota berbagai kelompok berbagai disiplin ilmu di enam lembaga yang mengkaji berbagai penyebab gangguan, baik yang berasal dari faktor genetis maupun lingkungan. Ia pernah mengatakan bahwa bekerja sama dengan para ahli dari bidang-bidang lain membuatnya ia mersa “menjadi muda kembali.”
  • Naskah ini merupakan hasil terjemahan bebas oleh Untung S. Drazat dari artikel berjudul The Early Origins of Autism, Patricia M. Rodier, Majalah Scintific Ameican, edisi Februari 2000, halaman 38-45.
Mempublikasikan PostingTerima kasih telah membaca artikel ini.
Jangan lupa tuliskan komentar Anda!

2 komentar:

ikhsansy mengatakan...

Bagus sekali ulasannya Pak Toenk..
sy baru tahu niy...
pasti sgt bermanfaat bagi kt semua, terutama para ortu anak2 autis,
Trimakasih yaa

salam, AAN

Untung S. Drazat mengatakan...

Terimakasih juga atas kunjungannya Pak Ikhsan... Semoga, sesuai harapan kita semua, artikel-artikel di blog ini bermanfaat bagi yg membutuhkan....