(Slipi, Jakarta Barat, 11 Mei 2015)
Oleh Untung S. Drazat
ABSTRAK
Catatan merupakan resume dan analisis tambahan dari penulis mengenai hasil diskusi terbatas tentang anak berkesulitan belajar. Diskusi ini mengenai keberadaan anak berkesulitan belajar dalam perspektif dan kerangka pembelajaran mereka di Indonesia. Dianalisis juga alternatif kemungkinan kerangka pembelajaran mereka dalam setting sekolah inklusif dan sekolah khusus.
Diadakan atas prakarsa Bapak Jokokoentono (Galeri Nasional, Jakarta) dan Bu Arini Magdalena Soewarno (Sekolah Talenta, Jakarta). Diadakan di Sekolah Talenta Jakarta. Peserta diskusi antara lain Bapak Jokokoentono, Ibu Arini Magdalena Soewarno, Ibu Ages Soerjana, Bapak Yuli Riban, Ibu Irma Sph, dan penulis.
A. Latar Belakang
1.
Karakteristik anak berkesubel:
a.
Normal secara fisik maupun mental (tidak cacat fisik /mental)
b.
IQ normal (tidak
di bawah rerata tapi bisa di atas rerata)
c.
Faktor penyebabnya internal , yaitu penyebab medis minimum
brain disfunction (MBD) atau disfungsi minimal di otak (DMO) (bukan faktor eksternal)
d.
Ada gap
yang lebar antara potensi kecerdasan
vs prestasi-nya di sekolah.
2.
Menurut penelitian Balitbang Dikbud (1997) di
sekolah-sekolah dasar reguler di Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, dan Kalimantan Barat terdapat 13,94% anak
berisiko tinggal kelas. Rinciannya adalah:
a.
22% anak
dengan nteligensi tinggi
b.
25% anak
dengan inteligensi sedang
c.
52,6% anak
dengan inteigensi rendah
Dengan
demikian, tanpa memasukkan 52,6% anak yang berinteligensi rendah, anak yang
berisiko tinggal kelas itu sekitar 6,6% adalah
anak berkesubel yang kita maksudkan.
3. Karena sebagian besar anak berkesubel terdapat
di sekolah reguler, dengan guru-guru reguler, kondisi anak berkesubel berisiko
tidak dipahami secara tepat. Implikasi dari kondisi ini antara lain:
a.
Terjadinya penyederhanaan permasalahan anak berkesubel,
sehingga dianggap tidak serius
b.
Mempertukarkan antara kondisi berkesubel dengan hambatan belajar yang lain:
1) Intellectual Disorder
a)
Lamban belajar (IQ antara >70 - hampir
90)
b)
Tunagrahita Ringan (IQ antara 50 – 70)
2) Anak Normal dengan Problem Belajar
Penyebab anak normal dengan problem belajar adalah berasal
dari faktor luar anak dan bersifat sementara; misalnya karena kondisi sosial ekonomi rendah, konflik
keluarga, perpindahan sekolah yang eksesif, dll. Dengan demikian, bila faktor
luar penyebab itu terselesaikan, maka problem belajar anak pun akan hilang
dengan sendirinya.
c.
Kemampuan, hambatan, minat, dan kebutuhan anak
berkesubel tidak tereksplorasi secara
optimal dalam proses pembelajaran
d.
Penanganan yang tidak tepat membuat prestasi yang
diraih anak jauh dari potensi optimalnya.
4.
Berikut adalah implikasi kurang dipahaminya anak
berkesubel di dunia persekolahan:
a. Bila
anak berkesubel di sekolah reguler murni
Anak berkesubel kemungkinan besar
tidak tertangani secara tepat sesuai kemampuan, hambatan, minat dan kebutuhannya.
Karena, di sekolah-sekolah reguler tidak disediakan secara khusus guru
pembimbing khusus (GPK) yang memahami dan mampu menangani ABK, termasuk anak
berkesubel.
b. Bila
anak berkesubel di sekolah reguler-inklusif
1) Bila
tersedia gpk yang memadai
dari segi kuantitas maupun kapasitas dalam memahami dan menangani,
anak berkesubel akan meraih prestasi optimal. Kondisi sekolah inklusif seperti
ini amat ideal dan amat sulit ditemukan.
2) Bila
tidak tersedia guru pembimbing khusus (GPK) yang memadai dari segi kuantitas maupun kapasitas dalam memahami dan menangani, anak berkesubel tidak akan
meraih prestasi optimal. Kondisi sekolah inklusif seperti ini amat lazim
ditemukan.
3) Kerjasama
antara guru reguler dan GPK di sekolah inklusif adalah hal yang niscaya
diperlukan. Dan sayangnya, kerapkali GPK menjadi tumpuan satu-satunya apabila
terdapat anak berkebutuhan khusus (ABK), termasuk di antaranya anak berkesubel,
yang dianggap sult tertangani.
c.
Bila
anak berkesubel di sekolah khusus
Sebelum membahas implikasi yang terjadi apabila anak
berkesubel bersekolah di sekolah khusus, ada baiknya mencermati dulu istilah
sekolah khusus.
Ada ketakajekan peristilahan ‘sekolah khusus’ yang perlu
dijernihkan dalam hal ini. Di Indonesia, pada masa pra-merdeka sampai tahun
1990-an, anak berkebutuhan khusus disebut sebagai ‘anak luar biasa’. Oleh karenanya, sekolah
untuk mereka disebut sebagai sekolah luar biasa (SLB). Perkecualian pada SPLB C
Cipaganti Bandung, yang menamai dirinya sebagai sekolah pendidikan luar biasa C
(untuk anak tunagrahita).
Pada tahun 1990-an, anak-anak ini mempunyai istilah baru yaitu
anak berkebutuhan khusus, berasal dari istilah children with special need di dunia pendidikan Barat. Namun, demikian penamaan untuk sekolah
untuk mereka tidak mengalami perubahan, tetap SLB (sekolah luar biasa).
SLB-SLB ini dibagi-bagi sesuai dengan jenis kebutuhan khusus
anak yang ditanganinya:
-
SLB-A :
untuk anak tunanetra (hambatan penglhatan)
-
SLB-B :
untuk anak tunarungu (hambatan pendengaran)
-
SLB-C :
untuk anak tunagrahita (keterbelakangan mental)
-
SLB-D :
untuk anak tunadaksa (hambatan gerak)
- SLB-E : untuk anak tunalaras (hambatan emosional
dan penyesuaian diri)
Dalam perkembangan berikutnya, muncullah fenomena baru
saat mana anak autisma, anak berkesubel, anak hiperaktif, dan seterusnya banyak
teridentifikasi. Anak-anak yang disebut
terakhir ini adalah ABK juga, namun belum terakomodasi dalam SLB-SLB yang ada. Menjawab
kebutuhan ini—maaf hanya menyebut beberapa sekolah yang berlokasi di Jakarta
dan skitaranya, muncullah sekolah khusus Pantara
dan Talenta untuk anak-anak
berkesubel, sekolah Mandiga, Kriakon
untuk anak-anak autisma, dan lain-lain.
Seiring dengan itu muncul pula sekolah-sekolah inklusif
(swasta) atau sekolah reguler yang bermetamorfosis menjadi sekolah inklusif. Sekadar menyebut yang berada di wilayah
Jakarta dan sekitarnya, Sekolah Madaniah,
Adik Irma, Patmos, Lazuardi, PSKD
Mandiri, BPK Penabur, termasuk
beberapa sekolah “interasional” semacam Highscope, Jakarta International School,
dan lain-lain, menerima anak-anak berkebutuhan khusus, terutama anak berkesubel
dan autisma untuk menangani mereka secara bersama-sama dengan anak-anak reguler
lainnya. Sampai di titik ini, setakat yang saya tahu, belum ada sekolah negeri
yang secara khusus menangani anak berkesubel.
Lupakan dulu semua perbedaan dan konsekuensi dari
istilah sekolah khusus di atas. Kita asumsikan, sekolah khusus yang kita
maksudkan di sini adalah sekolah khusus bagi anak-anak berkesubel seperti sekolah Pantara dan Sekolah Talenta, Jakarta.
Bila anak berkesubel bersekolah di sekolah khusus seperti ini mereka mungkin
akan mendapatkan perlakuan sebagai berikut:
1) Menurut
pengalaman pribadi di sekolah khusus Pantara (saya tidak tahu kurikulum sekolah
Talenta), sekolah khusus ini menggunakan kurikulum sekolah reguler, dalam hal
ini kurikulum sekolah dasar reguler dengan berbagai modifikasi. Modifikasi
kurikulum dilakukan pada hampir semua komponen kurikulum, yakni pada (a) tujuan,
dalam KTSP adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD); (b) materi,
dalam KTSP adalah Standar Isi (SI); (c) strategi/metode/proses, dalam KTSP
adalah pengalaman belajar atau kegiatan pembelajaran; dan (d) evaluasi
pembelajaran.
2) Modifikasi
dilakukan sesuai dengan kemampuan, hambatan, minat, dan kebutuhan siswa.
3) Modifikasi
pada komponen tujuan akan menuntut modifikasi pada komponen lainnya.
4) Modifikasi
pada komponen materi akan terutama menuntut modifikasi pula pada strategi
pembelajaran.
5) Dalam
komponen evaluasi, anak mendapatkan dua laporan hasil belajar; (a) raport SD
sesuai tuntutan kedinasan; dan (b) raport uraian, yakni raport khusus yang
isinya mendeskripsikan proses dan alasan tercapai atau tak tercapainya tujuan
kurikulum selama rentang waktu tertentu. Dalam raport uraian ini, disampaikan deskripsi
pula proses dan alasan tercapai atau tak tercapainya tujuan modifikasi perilaku
yang ditetapkan psikolog sekolah.
Dengan tuntutan modifikasi dan penyesuaian proses
pembelajaran seperti ini, maka agar seoptimal mungkin dapat mengakomodasi
kemampuan, hambatan, minat,dan kebutuhan anak, maka sekolah khusus berkesubel membutuhkan:
1) Tenaga
pendidikan yang mahir serta memahami dan menghayati peran sebagai pendidik ABK,
dalam hal ini anak berkesubel
2) Pembatasan
jumlah siswa dalam satu rombongan belajarnya
3) Tetap
berpihak pada kemampuan, hambatan, minat, dan kebutuhan anak berkesulitan
belajar ketimbang tuntutan kurikulum semata.
Apabila sekolah khusus dapat mengakomodasi kemampuan,
hambatan, minat, dan kebutuhan anak berkesubel, maka kemungkinan besar anak
berkesulitan belajar akan dapat mencapai prestai seoptimal mungkin sesuai
potensi yang dimilikinya. Namun demikian, karena layanan pendidikan ini
bersifat ideal karena harus multi-disiplin, multi-profesi, variasi
pendekatan/strategi pembelajaran serta pemabatasan jumlah siswa, kelemahan
sekolah khusus untuk anak berkesulitan belajar biayanya relatif tinggi.
B. Permasalahan
1.
Dari uraian di atas maka dapat dicatat beberapa
permasalahan mengenai anak keberadaan berkesubel dan layanan pendidikannya secara umum, yaitu:
a.
Keberadaan dan kondisi anak berkesubel masih
belum dipahami dan diterima secara tepat
b.
Pendekatan, layanan, dan penanganan anak
berkesubel masih jauh dari optimal
c.
Belum optimalnya layanan pendidikan yang dapat
mengakomodasi kemampuan, hambatan, minat, dan kebutuhan anak berkesubel.
Layanan pendidikan dimaksud termasuk layanan pendidikan di sekolah
reguler-murni, sekolah reguler-inklusif, SLB, sekolah khusus.
d.
Di satu sisi kecenderungan mendorong anak
berkesubel untuk dilayani di sekolah inklusif adalah langkah positif, tetapi di
sisi lain cenderung melahirkan tindakan “pembiaran” terhadap anak berkesubel karena
tidak semua sekolah inklusif memiliki GPK yang kapabel memahami dan menangani
anak berkesubel di sekolah inklusif
tersebut.
e.
Belum adanya sekolah negeri yang secara khusus
menangani anak berkesubel mengisyaratkan belum tergeraknya pemerintah, dalam
hal ini Dinas Pendidikan, dan Depdikbud untuk melihat dan urun rembuk
memberikan pelayanan bagi anak berkesulitan belajar.
f.
Belum tersedianya atau tidak diterbitkannya
model kurikulum bagi anak berkesubel
yang sudah dirancang Balitbang Dikbud sekali lagi mengisyaratkan pihak
pemerintah masih setengah hati dalam memperhatikan dan memberikan pelayanan
bagi anak berkesubel
g.
Biaya operasional layanan pendidikan khusus
(swasta) untuk anak berkesubel relatif mahal.
2.
Keberadaan sekolah khusus bagi anak berkesubel
sampai saat ini masih mencari bentuk yang sesuai. Beberapa pihak
masyarakat/yayasan yang mengoperasikan sekolah khusus bagi anak berkesulitan
belajar masih belum seragam, baik itu peristlahannya maupun pengindukannya
secara kedinasan. Ada yang berupa sekolah reguler (SD/SMP/SMA/SMK) ada juga
yang berafiliasi ke pendidikan khusus (dahulu SLB). Beberapa pertanyaan yang
muncul adalah:
a.
Sekolah khusus yang tepat bagi anak berkesulitan
belajar itu sekolah khusu yang bagaimana?
b.
Apakah sekolah khusus sebagai istilah lain dari
SLB sebelum tahun 1990-an?
c.
Apakah sekolah khusus ini berbeda dengan SLB
yang sudah ada?
3.
Lalu mengenai kurikulum untuk sekolah khusus
bagi anak berkesubel, muncul pula pertanyaan:
a.
Kurikulum bagi sekolah khusus untuk anak
berkesubel ini bagaimana?
b.
Setakat belum ada kurikulum khusus bagi anak
berkesubel, kurikulum yang manakah yang digunakan?
c.
Apakah sekolah khusus bagi anak berkesulitan
belajar menggunakan kurikulum sekolah reguler yang dimodifikasi?
d.
Komponen kurikulum yang mana saja yang boleh
dimodifikasi?
e.
Batasan dan kriteria modifiksi kurikulumnya
bagaimana?
f.
Perlukah dibuat kurikulum khusus tersendiri bagi
anak berkesubel?
g.
Pada tahun 2007-2008, Pusat Kurikulum Balitbang
Diknas pernah merancang “model kurikulum bagi anak berkesubel”; bisakah
dimanfaatkan, didayagunakan, ataukah perlu dikaji ulang terlebih dulu lagi
untuk disesuaikan dengan perkembangan kekinian?
C. Alternatif Solusi
1.
Beberapa alaternatif solusi yang dapat diusulkan
mengenai keberadaan anak berkesulitan belajar secara umum antara lain:
a.
Agar keberadaan dan kondisi anak berkesubel dapat
dipahami dan diterima secara tepat, diperlukan kampanye terus menerus mengenai
keberadaan anak berkesulitan belajar terutama di lingkungan pendidikan juga di
lingkungan lain
b.
Belum optimalnya layanan pendidikan bagi anak
berkesulitan belajar yang disebabkan oleh mahalnya biaya layanan, perlu
dipikirkan solusinya, misalnya dengan subsidi khusus bagi anak berkesulitan
belajar yang berasal dari kalangan menengah ke bawah
c.
Belum optimalnya layanan pendidikan bagi anak
berkesulitan belajar yang disebabkan oleh kurangnya SDM yang memahami dan
kapabel menanngani anak berkesubel,mungkin bisa dilakukan dengan semacam
pendidikan-pelatihan yang berjenjang. Kerjasama dengan pihak akademisi memahami
dan GPK yang berpengalaman menangani anak berkesulitan belajar bisa menjadi
alternatif solusi.
d.
Banyaknya anak berkesulitan belajar di sekolah
inklusif perlu dibarengi dngan peningkatan kuantitas dan kualitas GPK yang disiagakan
untuk menangani anak berkesulitan belajar di sekolah inklusif tersebut.
e.
Belum adanya sekolah negeri yang secara khusus
menangani anak berkesubel seharusnya mendorong pemerintah untuk membangun
sekolah khusus untuk anak berkesubel, sehingga bisa dijadikan model dan rujukan
bagi sekolah swasta yang memiliki tujuan yang sama.
f.
Solusi bagi tingginya biaya operasional sekolah
khusus (swasta) bagi anak berkesulitan belajar antara lain:
§
Bila perlu pemerintah membangun sekolah negeri
khusus untuk anak berkesubel, sehingga sebagian biaya opersionalnya dianggarkan
oleh pemerintah, dan masyarakat yang memiliki anak berkesubel menjadi tidak
terlalu terbebani. Langkah ini agak mewah
karena pemerintah harus memulai dari awal, dari infra sampau supra-strukturnya.
§
Mengubah status swasta sekolah penyelenggara pendidikan bagi anak berkesulitan
belajar menjadi sekolah negeri
sekolah swasta yang sudah ada. Langkah ini lebih hemat karena pihak pemerintah tidak memulai dari awal melainkan “hanya”
mengambil alih tanggung jawab kepemilikan dan menanggung biaya operasional
selanjutnya.
§
Mengangkat guru (GPK) yang PNS untuk
diperbantukan di sekolah swasta (istilahnya guru DPK) yang menangani anak
berkesubel. Langkah ini bisa sebagai langkah startegis karena hanya berkaitan
dengan status kepegawaian guru DPK tersebut. Namun langkah ini akan kurang
berdampak luas apabila jumlah guru DPK-nya hanya sedikit.
§
Memberikan, meningkatkan jumlah, atau memperluas
jenis bantuan operasional khusus bagi swasta yang khusus menangani anak
berkesubel .
2.
Mengenai jenis/jenjang persekolahan, diajukan
beberapa alternatif solusi sbb:
a.
Pemerinta perlu menentukan, sekolah khusus untuk
anak berkesulitan belajar ini ada di jenis sekolah yang mana. Apakah semacam
SLB atau semacam sekolah reguler. Pilhan ini harus mempertimbangkan pula jenis ijazah
yang akan dikeluarkan sekolah tersebut karena akan berkaitan dengan prasyarat
mengikuti jenjang pendidikan anak berkesubel selanjutnya. Kalau sekolah
tersebut adalah sekolah reguler (dengan mempertimbangkan tingka kecerdasan
mereka yang rerata atau di atas rerata), otomatis ijazahnya adalah dapat
dipergunakan sebagai prasyarat mendaftar ke sekolah lanjutannya.
b.
Adapun kalau pilihannya bahwa sekolah khusus
untuk anak berkesubel termasuk SLB, perlu dipikirkan pula bagaimana status
ijazahnya bila anak berkesubel lulusan di jenjang pendidikan sebelumnya ingin
melanjutkan ke jenjang berikutnya. Perlu pula diperhitungkan pula bagaimana
langkah antisipatifnya: seberapa luas pilihan lulusan memilih sekolah lanjutan
yang ada?
c.
Dapat juga pemerintah membuat nomenklatur baru
untuk pendidikan anak berkesubel ini. Misalnya bahwa sekolah khusus bagi anak
berkesubel merupakan jenis sekolah baru yang dalam pelaksanaan pembelajaran
mungkin mirip dengan sekolah khusus lainnya dengan pertimbangan hambatan dan kebutuhan-nya. Namun ia berhak mendapatkan ijazah yang sama dengan
sekolah reguler dengan mempertimbangkan level kemampuan (kecerdasannya yang rerata atau di atas rerata)
sebagaimana anak reguler lainnya.
3.
Adapun alternatif solusi yang bisa diajukan mengenai
keberadaan kurikulum untuk sekolah khusus bagi anak berkesubel antara lain:
Pemerintah mulai harus menentukan apakah bagi
anak berkesulitan belajar ini perlu kurikulum khusus atau tidak.
a. Bila anak berkesulitan
belajar memerlukan kurikulum khusus, langkah perancanganan (atau lebih tepatnya
perancangan kembali) kurikulum bagi anak berkesulitan belajar perlu segera
direncanakan. Sebagaimana
telah disebutkan, pada tahun 2007-2008, Pusat Kurikulum Balitbang Diknas pernah
merancang “model kurikulum bagi anak berkesubel”; namun sayangnya dengan
pertimbangan yang kami tak tahu, model kurikulum itu tidak sampai diterbitkan
oleh Pusat Kurikulum.
b. Bila
pemerintah memang berniat merancang kurikulum khusus untuk anak berkesulitan
belajar, draft Model Kurikulum Anak Berkesulitan
Belajar yang ada di Pusat Kurikulum dapat dijadikan entry point-nya.
c. Adapun
bila pemerintah tidak berniat melanjutkan draft kurikulum tersebut, mungkin
langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
§
Harus ditentukan kurikulum apa yang harus
dijadikan rujukan bagi sekolah khusus untuk anak berkesubel.
§
Bila rujukannya adalah kurikulum sekolah
reguler, berarti pihak sekolah akan memodifikasi kurikulum tersebut agar sesuai
dengan tingkat kemampuan, hambatan, minat, dan kebutuhan anak berkesubel di
sekolah tersebut. Dengan demikian, harus pula dirinci ketentuan dalam
modifikasinya:
- Kriteria
modifikasi : Batasan dalam menurunkan/menaikkan bobot,
menambah/mengurangi SK-KD, menambah/mengurangi materi, menambah/mengurangi
evaluasi, dst
- Teknik
modifikasi : Bagiamana langkah memodifikasinya
- Implikasi
Modifikasi : Bentuk strategi pembelajaran, bentuk evaluasi dll.
§
Bila ada kemungkinannya sekolah khusus untuk anak berkesulitan
belajar menggunakan/memodifikasi kurikulum SLB, perlu dijelaskan pula kurikulum
SLB yang boleh digunakan/dimodifikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar