Selasa, 02 Oktober 2007

ANAK ANDA INGIN SELALU DIPUJI?

Oleh Paul Kropp
Alih Bahasa: Untung S Drazat
[
dari Readers Digest, Edisi Juli 2000]



Dewasa ini, perasaan rendah diri muncul sebagai “avitaminosis emosional” yang bisa terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa. Karena pertumbuhannya yang begitu pesat, rasa percaya diri seakan-akan tak bisa dikendalikan lagi. Layaknya sebuah rak buku yang melengkung karena jumlah bukunya kebanyakan, anak kita seakan berada di ambang “anemia emosional” jika kita lupa memberi pujian kepadanya.
 
Beberapa tahun yang lalu, saya mengajar seorang anak. Mike namanya. Kedua orangtuanya adalah dokter yang berulang kali menyatakan bahwa Mike tidak bisa lagi meningkatkan kemampuannya. Dan hal itu dinyatakan pula secara langsung kepada Mike sendiri. Mike pun stress lalu menjadi sering tampak gagap dan gugup. Bahkan, saat ia memperoleh nilai ulangan di atas rata-rata ia tetap menampakkan gejala itu. 


Selanjutnya . . .





Anggapan Mike, nilainya itu dianggap belum memuaskan orangtuanya.
Kedua orangtuanya lalu mendatangi konsultan psikologi. Sang konsultan memberinya petunjuk agar mereka belajar memberi pujian untuk prestasi-prestasi anaknya dan menutup mulut untuk hal-hal yang tidak berhasil dilakukannya. Hasil terapi ini luar biasa, minimal pada tahap awalnya. Kegagapan Mike mulai mereda, nilai-nilai belajarnya pun kian membaik. Tapi, kepala Mike seakan “kian membesar” karena terus-menerus dipuji.
“Apakah kamu punya rencana untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, Mike?” tanya saya.
“Saya ingin kulaih di Universitas Jilliard, Pak.. Belajar piano.”
“Kamu yakin bisa lulus tes di situ?”
“Oh, jelas. Saya mampu, kok” ujar Mike, “mama bilang begitu,” lanjutnya dengan mata berbinar dan penuh keyakinan.
 
Salahkah bila seorang anak berangan-angan untuk bisa kuliah di suatu perguruan tinggi favorit? Tidak salah memang. Tapi bagi anak seperti Mike, yang untuk memperoleh nilai 6 pun ia berusaha mati-matian, keinginan itu sangatlah riskan. Terlalu besar yang dipertaruhkan. Keinginan itu lebih mecerminkan rasa percaya diri yang kelewat tinggi ketimbang kemampuan sebenarnya.
 
Menghadapi anak-anak seperti Mike kita memang jadi serba salah. Pelit memberi pujian mereka menjadi rendah diri dan tertekan. Sebaliknya, kalau kita kelewat boros memuji, perasaannya jadi melambung lalu muncullah angan-angan yang kelewat muluk. Bisa-tidaknya mereka melakukan sesuatu seakan ditentukan oleh apa yang dikatakan orang lain —tergantung penilaian orang lain. Agaknya, memang ada sala hkaprah mengenai perbedaan antara konsep rasa percaya diri dan harga diri. Keduanya acapkali didasarkan pada berapa kali kita dipuji dan berapa kali kita dikritik orang lain.
Anak-anak mungkin belum paham kalau mereka tidak boleh tergantung pada pujian orang. Jaman dulu, harga diri itu menyatu dengan ide-ide cemerlang dan amal-amal mulia. Sekarang lain, bila sang anak bisa menghabiskan porsi sarapannya saja ibunya sudah memberikan pujian selangit. Padahal, kita tidak ingin anak-anak kita menjadi “keranjang sampah pujian”. Kalau hal itu terjadi, kelak mereka akan sangat tergantung pada pujian orangtua atau promosi dari atasannya. Bila tidak dipuji, mereka merasa uring-uringan atau cemas.
Belakangan, anak seperti itu banyak membuat masalah di sekolahnya. Biasanya mereka berasal dari keluarga yang suka memuji-muji langsung di depan anaknya. Tidak peduli apakah anaknya melakukan hal yang berguna atau tidak.
***
 
Belum lama ini saya kedatangan dua orang tamu. Keduanya teman ayah saya waktu kecil. Ayah mengajak mereka melihat secarik tulisan yang mereka buat saat kami berusia tujuh tahunan.
“Ini karya Geofrey yang pertama,” ujar ayahku, “judulnya … Dongeng Sikat Gigi.”
“Waah, benar-benar hebat,” Ibuku menimpali sambil mengacungkan jempolnya.
“Saya tertarik dengan judulnya,” kataku.
“Itu karangan ayahku …” Geofrey bergumam.
“Gambar yang ini juga luar biasa,” saya memujinya. “Saya benar-benar takjub, sikat gigi raksasanya sangat bagus.”
“Yang menggambar itu ibuku” gumaman Geofrey kian lirih.
Ternyata …prestasi Geofrey bukanlah hasil usahanya sendiri. Dan ironisnya, ia masih memperoleh pujian untuk itu. Bila orangtua di rumah selalu memuji-muji anaknya untuk prestasi-prestasi yang sebenarnya tak seberapa, maka ketika di luar rumah si anak pun akan mengharapkan pujian yang sama dari orang lain.
 
Lingkungan di luar keluarga yang pertama kali dijumpai mereka adalah sekolah. Di sana anak tidak memperoleh puja-puji berhamburan sebagaimana yang diberikan orangtuanya di rumah. Guru tidak akan tiba-tiba memuji anak bila ia tidak mengerjakan tugas atau menjawab soal dengan tepat. Apalagi di sekolah, beberapa bentuk dan fungsi pujian dan dorongan diubah ke dalam bentuk skor atau nilai. Nilai 7, 8, 9 sebenarnya adalah pujian, yang menandakan tingkat keberhasilan atas usaha belajar anak. Sedangkan, nilai di bawah 5 adalah kritikan agar anak memacu dirinya untuk belajar lebih rajin. Tapi, yang mereka inginkan adalah guru memujinya di depan teman-teman. Padahal, guru tidak akan mengobral pujian yang dapat membuat anak besar kepala.
***
Anak yang kecanduan dipuji di rumah cenderung akan mengalami gejala yang sama saat ia masuk sekolah. Anak-anak seperti ini sering mendekati meja guru atau mengerjakan hal lain untuk mencari perhatian gurunya. Ia senang bila diperhatikan orang. Apalagi kalau dipuji, ia akan merasa amat puas.
“Ini bagus ‘kan, Pak?”
“Ya, bagus Melissa...” jawab saya.
“Aku yakin bisa mengerjakannya sekarang,” lanjutnya.
“Ya, ya, pasti.”
“Bapak senang ‘kan?” ajuknya.
“Tentu, tentu.”
“Saya dapat nilai A ‘kan Pak?” kejarnya.
“Mudah-mudahan. Kalau kamu bisa selesai mengerjakannya.”
Melissa tampak frustrasi terhadap respon-respon saya. Tentu saja, saya tak akan mengatakan kepadanya bahwa tulisan butut-nya itu akan dapat Juara Pertama Lomba Kaligrafi.
***
 
Bila harga diri dan rasa percaya diri tergantung pada apa yang orang lain pikir mengenai Anda, maka Anda memang akan bertindak dengan cara yang umum dilakukan orang lain. Namun, bila cara ini dilakukan, Anda tidak akan dapat membangun watak yang sesuai dengan jati diri Anda sendiri. Rasa kecewa haruslah dibuang. Apalagi kecewa terhadap diri sendiri. Anak yang selalu ingin dipuji, sepert Melissa dan Geofrey, merupakan akibat seringnya mendapatkan pujian yang salah sasaran dari orangtuanya. Mereka menjadi cengeng dan rapuh. Cara demikian tidak memupuk rasa percaya diri anak, tidak pula harga dirinya. 
Pembentukan rasa percaya diri, harga diri, dan keyakinan akan kemampuan diri memang memerlukan waktu dan ikhtiar. Dan, semua itu akan tercapai seiring perkembangannya. Secara bertahap ia akan menjadi anak yang tidak suka mencari perhatian. Sebab, kini ia sudah bisa menilai dan menghargai hasil karyanya sendiri.
Berikut ini beberapa tips untuk membantu anak mengembangkan rasa percaya dirinya secara lebih realistis:

  • Curahkanlah perhatian Anda pada apa yang dikerjakan dan dikatakan anak. Jangan tergesa-gesa mengiyakan atau melarang, tapi perhatikanlah dulu sampai selesai.

  • Sempatkanlah waktu yang leluasa agar Anda dapat melakukan suatu kegiatan bersama anak, paculah perkembangan fungsi otak anak lewat kegiatan tersebut.

  • Ingatlah, bahwa anak membentuk jati dirinya hanya dengan mengalami langsung perasaan berhasil atau gagal melakukan sesuatu, bukan dengan memberikan pujian-pujian yang mungkin bisa menyesatkan.


Melulu memberikan pujian tidak akan mengembangkan kemampuan anak. Juga tidak akan mendorongnya untuk tertarik kepada tantangan-tantangan baru. Hindarkanlah kata-kata yang bernada ejekan bila anak Anda gagal melakukan sesuatu. Bagi mereka, yang penting adalah prosesnya. Selain itu, bukankah perasaan senang mengerjakan sesuatu adalah prestasi juga. Orangtua tidak boleh sekehendak hati menempatkan diri terhadap anak, melainkan harus diselaraskan dengan kondisi dan suasana hati si anak. Lagi pula, respon orangtua tidak boleh tergantung pada hasil prestasi anak tetapi pada kemauannya untuk berusaha meraih prestasi. Jagalah hal yang penting ini agar anak Anda dapat mengembangkan rasa percaya dirinya.


MEMBANGUN RASA PERCAYA DIRI


  1. Libatkanlah anak dalam kegiatan yang tengah Anda kerjakan. Tidak apa-apa bila Anda melakukan kesalahan, jangan terlalu rewel menuntut anak untuk selalu mengikuti kehendak Anda.

  2. Janganlah Anda membuat tugas yang kelewat berat bagi anak. Ibaratnya, anak perlu lebih dulu belajar membuat kandang burung sebelum ia dapat memperbaiki arloji kakeknya.

  3. Jangan tergesa-gesa membantu bila anak mengalami kesulitan. Berilah kesempatan padanya untuk mengalami suatu kekesalan atau rasa frustrasi.

  4. Dukunglah anak untuk bereksplorasi di luar rumah. Misalnya ikut kegiatan pramuka, masuk klub berenang ataupun mengikuti les musik.

  5. Berilah anak pujian secara wajar setelah suatu kegiatan selesai dikerjakan.

  6. Ketika Anda menatap mata si anak, mereka mengira semuanya baik. Oleh karena itu, bila Anda hendak mengamatinya lebih jauh upayakan sewajarnya saja.
Terima kasih telah membaca artikel ini.
Jangan lupa tuliskan komentar Anda!

Tidak ada komentar: