Oleh Untung S. Drazat
Dalam bahasa percakapan kita, ada frasa "air menyala". Ada juga frasa "darah tinggi"?
Tapi, benarkah air itu menyala? Betulkah darahnya yang tinggi?
Sebuah gejala bahasa yang unik, sebenarnya...
Di papan kios penjual bensin, terdapat tulisan "Di Sini Menjual Bensin" . Menurut kalimat ini, siapakah yang menjual bensin? Kita tidak tahu persis, karena kalimat itu tidak sempurna. Dalam kalimat tersebut telah terjadi penghilangan kata yang berfungsi. Dan, fatalnya, kata yang hilang itu adalah subjek, atau pokok
kalimatnya, yakni kata “kami” atau “saya”. Jadi, kalimat lengkap
yang seharusnya ditempelkan di kios bensin eceran tu adalah “Di sini kami
menjual bensin” atau “Di sini saya menjual
bensin”.
Oh, itu tidak efektif karena kalimatnya jadi terlalu panjang. Atau adat ketimuran kita yang kerap sungkan menonjolkan diri, sehingga menghindakan diri untuk mencantumkan pelaku sebagai pokok kalimat? Karena yang penting/pokok itu bensinnya--bukan penjualnya. Sebenarnya sederhana saja. Ubah pola kalimatnya menjadi kalimat pasif. Pada kalimat pasif, pelaku bukanlah subjek, melainkan objek kalimat. Dan objek dalam kalimat pasif tak wajib dicantumkan. Jadi, dengan kalimat : “Di sini dijual bensin” beres sudah masalahnya. Tapi kalau mau keukeuh menggunakan kata “menjual“ (yang aktif itu), maka pencantuman subjek menjadi suatu keharusan.
Setelah dicermati dan dilakukan analisis kesalahannya [sic!], ini merupakan kecenderungan umum yang tergolong salah kaprah--kesalahan yang pada akhirnya dianggap waar. Kesalah-kaprahan ini kerap menyesatkan akan makna dan pengertian yang dikandung dalam frasa atau kalimat yang digunakan. Pesan, informasi, dan maksud yang ingin disampaikan pun tersesatkan, hingga kita kerap kesulitan menelusuri makna sejatinya.
Saya juga yakin, Anda pernah mendengar atau bahkan menggunakan frasa "darah tinggi" atau frasa "air menyala". Misalnya dalam kalimat “Pak Tito mengidap penyakit darah tinggi”. Atau kalimat “Setelah kerannya dibetulkan, akhirnya air pun menyala”.
Dalam frasa ‘darah tinggi' kejadiannya hampir sama. Kehilangan pokok atau subjek dari frasa tersebut’. Ada ilustrasi yang
mudah-mudahan bisa memperjelas masalah ini. Suatu saat, salah seorang murid
saya bertanya “Pak, ‘darah tinggi’ itu
apa, sih?” Mumpung ada momen, saya
pun menjelaskan bahwa sebenarnya frasa itu tidak lengkap. Ada kata yang hilang
dalam frasa itu, yakni kata "tekanan". Frasa lengkapnya adalah ‘tekanan darah tinggi’. Makna utuhnya adalah “tekanan yang tinggi pada saluran darah”.
Jadi, yang tinggi itu tekanan-nya,
bukan darah-nya.
Nah, dengan alur pemahaman tersebut, maka saya pun jadi lebih
mudah saat menganalogikan, bahwa “tekanan yang tinggi pada saluran darah itu” semacam
selang air yang ditekan atau tersumbat, sehingga salurannya menyempit. Karena
saluran menyempit, sementara volume airnya tetap, maka air di dalam selang
menekan dinding selang lebih keras. Itulah yang dimaksud dengan "tekanan tinggi".
Bila ujung selang terbuka atau terjadi kebocoran, maka menyemburlah air
tersebut.
Dalam saluran darah, tekanan tinggi semacam itu bisa juga terjadi.
Saluran darah tertekan dan mengalami penyempitan. Penyempitan itu akibat tertindih
atau tertekannya saluran oleh sesuatu di sekitar saluran tersebut, oleh lemak misalnya.
Dengan pola pemahaman itu pula, pertanyaan mengapa orang gemuk cenderung lebih mudah
terkena “tekanan darah tinggi” menjadi masuk akal bagi murid si penanya tadi. Dan bila salurannya
pecah, darah pun bisa berhamburan atau berceceran ke mana-mana. Dan bila itu
terjadi pada saluran darah di area otak, stroke-lah
jadinya. Ceceran/cipratan darah bisa menggenangi saraf yang mengatur sirkuit organ
gerak. Seperti sirkuit listrik yang korslet karena terkena cipratan air, maka pengaturan organ gerak oleh saraf pun terganggu atau rusak karenanya. Dan, kelumpuhan pun
bisa terjadi sebagai akibatnya.
Pada frasa ‘air
menyala’, juga terjadi penghilangan subjek. Uraiannya kira-kira begini. Menurut dugaan, frasa "air
menyala" muncul seiring dengan ditemukannya teknologi pompa air listrik. Jadi, yang
dimaksud “menyala” (atau on) pada frasa itu adalah pompa listriknya. Bukan airnya. Dengan demikian, frasa lengkapnya adalah “pompa-air listrik sudah menyala”. Tapi karena si pengguna tak menyadari kesalahan itu, maka
kaprahlah penggunaan frasa dan kalimat itu. Bahkan, merembet kemana-mana. Pada air yang
mengalir tanpa pompa listrik pun, misalnya air yang berasal dari keran PAM (perusahaan
air minum) atau air yang sudah ditampung di toran, tetap digunakan frasa yang
sama. “Airnya sudah menyala?”
Sambil bergurau, saya suka ber-ironi kepada murid-murid saya: “Kalau
air di kamar mandi menyala, Bapak tak mau mandi... takut kebakaran!“ Hehehe...
Dengan gurauan sarkasme tersebut, alhamdulillah murid-murid saya jadi
mengerti bahwa frasa atau kalimat "air menyala" merupakan kesalahan yang sudah
menjadi kecenderungan umum. Dan, saya selalu menegaskan kalau kita menggunakan
frasa yang salah padahal kita tahu bahwa itu salah maka kita telah turut serta
menyebarkan virus kesalahkaprahan itu.
Alhasil, bila kita cermati lagi ketiga contoh salah kaprah
dalam menggunakan frasa dan kalimat yang kita bahas ini, agaknya ada kesalahan pragmatika bahasa yang cukup serius. Bukan cuma masalah salah kaprah, tetapi saya khawatir sudah sampai pada kesesatan berpikir. Penghilangan subjek dalam ujaran, kalimat atau percakapan adalah hal yang serius. Ya, serius! Karena subjek-lah yang menjadi inti dari pembicaraan sebuah ujaran, frasa atau
kalimat. Kalau subjeknya hilang, berarti hilang pula hal yang penting dari ujaran,
frasa, atau kalimat itu. Jadi, pertanyaannya: mengapa berujar atau berbicara
bila tak ada hal yang penting untuk dibicarakan?
Hal inilah yang saya khawatirkan tengah marak pada masa-masa ini. Di sebuah acara talkshow, seorang pembicara berargumen mengagitasi, lalu ditimpali moderator yang mengompori, dan penanggap yang memprovokasi. Lalu, setelah usai acara, kita tak mendapat inti atau pokok atau subjek dari pembicaraan itu. Tragis 'kan?
Wallahua’lam bisshawab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar