Di Indonesia, data terbaru mengenai prevalensi anak-anak berkesulitan belajar belum dapat dipastikan. Hal ini kemungkinan karena belum seragamnya definisi dan istilah kesulitan belajar. Penggunaan istilah kesulitan belajar kadang dipertukarkan dengan kondisi-kondisi yang lain, seperti lamban belajar (slow learner) dan bermasalah dalam belajar (learning probleme) atau tunagrahita (mentally retardation). Istilah-istilah tersebut tidaklah bermakna sama.
Sebagai gambaran, prevalensi anak-anak yang mengalami kesulitan belajar di Amerika sekitar 5%. Diperkirakan pula, lebih dari 20% anak usia sekolah di sana mengalami permasalahan dalam belajar, meskipun belum tentu teridentifikasi sebagai anak berkesulitan belajar (Wallace, 2002). Adapun menurut Lerner (2000) layanan pendidikan khusus dinikmati oleh 40% dari seluruh anak berkebutuhan khusus. Dari jumlah tersebut sebagian besar di antaranya adalah siswa berkesulitan belajar.
Dalam hal Indonesia, survei Abdurrahman dan Ibrahim (1994) terhadap 3.215 siswa kelas satu hingga kelas enam di 25 Sekolah Dasar Negeri di Jakarta menemukan 16,52% siswa yang dinyatakan oleh gurunya sebagai siswa berkesulitan belajar karena nilai rata-rata prestasi belajar mereka di bawah enam. Klaim guru terhadap persentasi ini belum tentu sepenunhya tepat. Karena, tidak semua anak yang nilai rata-ratanya di bawah enam adalah anak berkesulitan belajar. Mungkin saja di antara mereka terdapat anak-anak yang lamban belajar, bermasalah dalam belajar atau tunagrahita ringan.