Selasa, 03 Februari 2009

KERANGKA MODEL PEMBELAJARAN ANAK BERKESULITAN BELAJAR DI SEKOLAH DASAR

 A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia, data terbaru mengenai prevalensi anak-anak berkesulitan belajar belum dapat dipastikan. Hal ini kemungkinan karena belum seragamnya definisi dan istilah kesulitan belajar. Penggunaan istilah kesulitan belajar kadang diper­tukar­kan dengan kondisi-kondisi yang lain, seperti lamban belajar (slow learner) dan berma­sa­lah dalam belajar (learning probleme) atau tunagrahita (mentally retardation). Istilah-istilah tersebut tidaklah bermakna sama.

Sebagai gambaran, prevalensi anak-anak yang mengalami kesulit­an belajar di Amerika sekitar 5%. Diperkirakan pula, lebih dari 20% anak usia sekolah di sana mengalami permasalahan dalam belajar, meskipun belum tentu teridentifikasi sebagai anak berkesulitan belajar (Wallace, 2002). Adapun menurut Lerner (2000) layanan pendidikan khusus dinikmati oleh 40% dari seluruh anak berkebutuhan khusus. Dari jumlah tersebut sebagian besar di antaranya adalah siswa berkesulitan belajar.
Dalam hal Indonesia, survei Abdurrahman dan Ibrahim (1994) terhadap 3.215 siswa kelas satu hingga kelas enam di 25 Sekolah Dasar Negeri di Jakarta menemukan 16,52% siswa yang dinyata­kan oleh gurunya sebagai siswa berke­sulitan belajar karena ni­lai rata-rata prestasi belajar mereka di bawah enam. Klaim guru terhadap persentasi ini be­­lum­ tentu sepenunhya tepat. Ka­re­na, tidak semua anak yang nilai rata-ratanya di ba­wah enam adalah anak ber­kesulitan belajar. Mungkin saja di antara mereka terda­pat anak-anak yang lam­ban belajar, bermasalah dalam belajar atau tuna­grahita ringan.


Selanjutnya, pada tahun 1997 Balai Penelitian dan Pengembangan Pendi­dikan Na­si­onal melakukan penelitian terha­dap 24 sekolah dasar di empat provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, dan Kalimantan Barat. Di sana ditemukan 13,9% sis­wa yang beresiko ke­sulitan belajar. Dari jumlah tersebut, 47,4% di antaranya memi­liki taraf kecerdasan normal hingga di atas normal (Abdurahman dalam Istiningrum, 2005). Dengan kata lain terdapat 6,59% siswa Indonesia yang memiliki resiko kesulitan belajar. Mencermati data-data di atas, dengan demikian, diper­kira­kan lebih dari 6% murid sekolah dasar memiliki resiko kesulitan belajar.
Badan yang sama mengemukakan pula bahwa siswa beresiko kesulitan belajar itu belum sepenuhnya ter­tangani oleh guru sekolah dasar (Sumarlis, 2005). Meskipun sudah dikembang­kan semacam alat identifikasi kesulitan belajar untuk murid sekolah dasar, dalam kenyataannya guru kelas belum secara langsung mampu melaksanakan proses pembelajaran yang tepat bagi anak berkesulitan belajar tanpa dibekali pemahaman atau pelatihan khusus.
Dengan demikan, pengembangan kerangka model pembelajaran bagi anak berke­su­litan belajar menjadi hal yang penting adanya. Karena bisa dijadikan semacam acuan dan dapat pula dikembangkan lebih lanjut oleh guru kelas yang secara langsung me­nangani proses pembelajaran sehari-hari siswanya. Untuk mempertepat sasaran la­yanan, kerangka model ini dilengkapi dengan instrumen identi­fikasi bagi anak beke­sulitan belajar yang relatif sederhana dan mudah digunakan guru kelas.
B. Pengertian dan Karakteristik Kesulitan Belajar
Kesulitan Belajar merupakan istilah Indonesia untuk learning disabilities, learning difficulties, dan learning differences. Terdapat nuansa pe­ngertian atas istilah-istilah tersebut. Di satu pihak, dike­mukakan bahwa peng­gunaan istilah learning differences lebih bernada positif, namun dipihak lain istilah learning diabilities dianggap lebih menggambarkan kondisi faktualnya. Untuk meng­hindari bias dan perbedaan rujukan, serta karena isitilah ini sudah lazim digunakan di Indonesia kita sepakat menggunakan istilah Kesulitan Belajar.
Menurut NJCLD, kesulitan belajar adalah istilah umum untuk berbagai jenis kesulitan individu dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, bertutur, dan ber­hitung. Kondisi ini bukan karena kecacatan fisik atau mental, bukan juga karena pengaruh faktor lingkungan, melainkan karena faktor kesulitan dari dalam individu itu sendiri saat memper­sepsi dan melakukan pemrosesan informasi terhadap objek yang diinderainya (Lerner, 2000).
Dari definisi dan uraian di atas tampak bahwa kondisi kesulitan belajar memiliki beberapa karakteristik uatama, yaitu

1. Berupa Gangguan Internal
Penyebab kesulitan belajar berasal dari faktor internal, yaitu yang berasal dari dalam anak itu sendiri. Anak ini mengalami gangguan pemusatan perhatian, sehingga kemampuan perseptualnya terhambat. Baik itu persepsi visual (proses pemahaman terhadap objek yang dilihat), persepsi auditoris (proses pemahaman terhadap objek yang didengar) maupun persepsi taktil-kinestetis (proses pemaha­man terhadap objek yang diraba dan digerakkan). Faktor-faktor internal itulah yang menjadi penyebab kesulitan belajarnya, bukan faktor eksternal (yang berasal dari luar anak), seperti faktor lingkungan keluarga, budaya, fasilitas, dll.
2. Terdapat Kesenjangan antara Potensi dan Prestasi
Anak berkesulitan memiliki potensi kecerdasan/ inteligensi normal, bahkan beberapa di antaranya di atas rata-rata. Namun mereka memiliki prestasi akademik yang rendah. Dengan demikian, mereka memiliki kesenjangan yang nyata antara potensi dan prestasinya. Kesenjangan ini biasanya terjadi pada kemampuan belajar akademik yang spesifik, yaitu pada kemampuan membaca (disleksia), menulis (disgrafia), bertutur (disfasia) atau berhitung (diskalkulia).
3. Tidak memiliki gangguan fisik dan/atau mental
Anak berkesulitan belajar merupakan anak yang tidak memiliki kecacatan, baik secara fisik maupun mental.
Kejelasan mengenai pengertian dan karakteristik anak berkesulitan belajar ini penting sekali agar tidak lagi terjadi ketertukaran konsep dan pengertian dengan istilah-istilah lain seperti:
§ Learning Problem/Problem Belajar (Bermasalah dalam Belajar)
Kondisi di mana anak mengalami masalah (seperti turunnya prestasi belajar/ akademik) yang penyebabnya dari faktor eksternal, seperti kodisi lingkungan keluarga, fasilitas belajar di rumah atau di sekolah, dan seterusnya. Biasanya kondisi ini bersifat temporer/sementara. Bila masalah eksternalnya hilang, kondisi masalah belajarnya pulih dengan sendirinya;
§ Slow Learner (Lamban Belajar)
Kondisi di mana anak menjalani proses pembelajaran dengan lamban karena ke­ter­batasan potensi kecerdasannya. Inteligensi (IQ) mereka sedikit di bawah level rata-rata—antara 80-90. Kelambanan belajar mereka nyaris merata pada semua pelajaran;
§ Mentally Retardation (Tunagrahita)
Kondisi di mana anak mengalami keterbelakangan mental, dengan inteligensi di bawah anak lamban belajar. IQ anak tunagrahita ringan antara 50-70an. Kondisi hambatannya juga menyeluruh dan menetap.
C. Tujuan
Kerangka Model Pembelajaran Anak Berkesulitan Belajar ini disusun dengan tujuan:
1. Memberikan kejelasan bagi guru dan pihak lain dalam memahami istilah dan karakteristik utama anak berkesulitan belajar
2. Menyediakan semacam panduan sederhana bagi guru dan pihak lain untuk menemukan anak-anak yang memiliki karakteristik anak berkesulitan belajar
3. Menyediakan semacam panduan sederhana yang memberikan alternatif pilihan terhadap model-model pembelajaran yang dapat diterapkan guru dan pihak lain pada anak berkesulitan belajar

D. Sasaran
Sasaran pengguna Kerangka Model Pembelajaran Anak Berkesulitan Belajar ini antara lain:
1. Guru kelas yang memiliki siswa beresiko kesulitan belajar
2. Guru bidang studi yang memiliki siswa beresiko kesulitan belajar
3. Guru Pembimbing Khusus yang memberikan layanan pendidikan khusus pada anak berkebutuhan khusus, termasuk anak berkesulitan belajar, di sekolah reguler
4. Kepala Sekolah yang memiliki kewenangan penataan kebijakan sekolah, terkait dalam upaya memodifikasi layanan pendidikan pada anak berkesulitan belajar.
E. Identifikasi Anak Berkesulitan Belajar
Sebagaimana terungkap dalam latar belakang masalah dan penger­tian dan karakteristik kesulitan belajar, tampak bahwa untuk mengantisipasi kekeliruan klasi­fikasi dan layanan pada anak berkesulitan belajar diperlukan semacam instrumen untuk mengidentifikasi kondisi kesulitan belajar dimaksud.
Karena akan digunakan oleh guru kelas reguler, yang tidak memiliki latar belakang pendidikan khusus, maka instrumen ini harus jelas dan sederhana serta tidak mengandung istilah-istilah khusus yang asing. Instrumen ini berupa tabel inventori atau daftar ceklis. Instrumen ini bisa digunakan guru kelas untuk mengidentifikasi kemampuan siswanya. Prosesnya dilakukan dengan pengamatan.
Bila dari hasil pengamatan seorang anak menunjukkan > 6 perilaku di bawah ini, kemungkinan anak tersebut beresiko berkesulitan belajar (Vitriani, 2007). Bila ditengarai memiliki kesulitan belajar, anak bisa dirujuk kepada tenaga ahli (psikolog, pedagog) untuk mengakurasi lebih lanjut kondisi kesulitan belajar­nya. Tetapi, tanpa rujukan tenaga ahli pun, guru tetap dapat menerapkan layanan pendidikan bagi mereka dengan acuan kerangka model pembelajaran ini. Berikut ini instrumennya.


Inventori Identifikasi wal Anak Berkesulitan Belajar


F. Model Pembelajaran Anak Berkesulitan Belajar
Mengenai model pembelajaran, hal yang pertama kali harus dicatat adalah bah­wa tidak yang benar atau salah dalam model, metode, atau strategi pembelajaran. Yang ada adalah model, metode, atau strategi pembelajaran yang tepat atau tidak tepat. Model pembelajaran yang tepat akan dapat mengakomodasi kebutuhan anak berkesulitan belajar, yakni dengan mengembangkan apa yang menjadi kelebihan dan mengurangi kelemahannya. Begitu pula sebaliknya.
Kerangka model pembelajaran ini disesuaikan dengan klasifikasi anak berke­sulitan belajar yang terdiri dari kesulitan membaca (disleksia), kesulitan menulis (disgrafia), dan kesulitan berhitung (diskalkulia).
Sistematika penyusunan kerangka model pembelajaran ini mengacu pada bebe­ra­pa pendekatan pembe­lajaran, yakni pendekatan teori psikologi perkembangan (develop­mental), perilaku (behavior) dan teori kognitif. Sebagai gamba­ran, berikut ini tabulasi pendekatan belajar bagi anak berkesulitan belajar yang dimaksud.
TABULASI PENDEKATAN PEMBELAJARAN ANAK BERKESULITAN BELAJAR

Asumsi Strategi Contoh Metode
PERKEMBANGAN
• Kemampuan anak • Memperkuat kemampuan • Metode Selusur, Metode
berkembang sesuai usia pra-syarat akademik Fernald, Lateralisasi
• Kemampuan/hambatan dipengaruhi • Mempermahir kemampuan • Mengasosiasikan simbol
tahap perkembangan sebelumnya pra-akademik anak dengan bunyi/kuantitas
PERILAKU • Kemampuan/hambatan anak • Penanganan difokuskan Remedial membaca,
muncul dalam bentuk perilaku pada masalah saat ini menulis, berhitung
• Kemampuan/hambatan • Pembelajaran umumnya Pengulangan & pembiasaan
merupakan masalah saat ini bersifat remedial sampai anak familiar
KOGNITIF • Belajar merupakan proses • Pembelajaran bersifat • Metode SAS, KWL,
penataan pikiran konstruksi-pola Mindmapping
• Pemahaman merupakan tujuan • Memproses pembelajaran • Menguraikan proses penemuan
dari proses belajar sesuai alur pikir rumus dan menggunakannya.

Disarikan dari uraian Lerner (2000) dan Harwell (2000)
Selanjutnya akan diuraikan model pembelajaran untuk masing-masing aspek kemam­puan dan kesulitan (membaca, menulis, berhitung) berdasarkan tiga pendekatan (perkem­bang­an, perilaku, dan kognitif) tersebut.


1. Pengembangan Kemampuan Membaca
Membaca permulaan merupakan proses penerjemahan simbol bunyi menjadi bunyi yang bermakna. Sedangkan membaca pemahaman merupakan proses menemukan makna/pesan/informasi dari bacaan.
Beberapa tahapan membaca antara lain:
· Pra-Membaca memerlukan proses pengenalan konsep arah (atas-bawah; depan-belakang; kanan-kiri), bentuk simbol huruf, dan konsep urutan.
· Membaca Permulaan memerlukan proses pengenalan huruf, suku kata, tanda baca, kata, dan kalimat. Ketepatan artikulasi dan Intonasi juga dikembangkan pada tahap membaca permulaan ini.
· Membaca Pemahaman memerlu­kan proses pemahaman makna kata, kelompok kata dan kalimat.
a. Pendekatan Perkembangan
Menilik proses tahapan belajar membaca di atas, pendekatan teori per­kembangan memandang bahwa membaca merupakan bentuk kemam­puan yang dipengaruhi oleh faktor kemampuan pra-membaca.
Oleh karena itu, penanganan kesulitan membaca lebih diarahkan pada penguatan kemampuan pra-membacanya. Latihan-latihan persepsi visual amat dipentingkan di sini, misalnya:
- Latihan konsep lateral yang mengembangkan konsep arah (atas-bawah, depan-belakang, tengah-tepi, kiri-kanan)
- Aktivitas pengenalan simbol/bentuk bermakna (tanda panah, gambar simbol umum, huruf, angka)
- Aktivitas mengurutkan benda (sesuai warna, bentuk, pola, dan seterusnya)
- Aktivitas mengaitkan antara bentuk pola huruf dan bunyinya
- Rekomendasi : Metode Selusur untuk aktivitas membaca permulaan dan Metode Pengalaman Berbahasa untuk aktivitas mem­ba­ca pemahaman
b. Pendekatan Perilaku
Menilik proses tahapan belajar membaca di atas, pendekatan teori perilaku memandang bahwa membaca merupakan bentuk kemam­puan yang kemam­puan dan hambatannya tampak pada saat proses membacanya sendiri. Ketak­lan­caran membaca merupakan salah satu bentuk hambatan yang sering tampak.
Model layanan pembelajaran yang ditawarkan oleh pendekatan pembela­jar­an ini berupa kegiatan remediasi, seperti:
- Pembiasaan membaca huruf, suku kata, kata dan kalimat yang secara bertahap taraf kesulitannya kian ditingkatkan
- Pengenalan huruf, suku kata, kata dan kalimat, terutama pada bagian di mana anak kerap menunjukkan kesulitan.
- Rekomendasi Metode Bunyi untuk aktivitas membaca permulaan Metode Linguistik untuk aktivitas membaca pemahaman
c. Pendekatan Kognitif
Menilik proses tahapan belajar membaca di atas, pendekatan teori Kognitif memandang bahwa membaca merupakan suatu pemrosesan terhadap informasi yang berupa pola-pola. Baik itu pola penggabungan huruf menjadi suku kata, suku kata menjadi kata maunpun gabungan kata menjadi kalimat. Pola-polanya sendiri bisa diajarkan secara langsung maupun secara tak langsung, atau anak akan menemukan sendiri polanya.
Model layanan pembelajaran yang ditawarkan oleh pendekatan pembela­jar­an ini berupa kegiatan penemuan pola-pola seperti:
- Menemukan pola gabungan huruf vokal-konsonan menjadi suku kata tertentu
- Menggunakan pola kata tertentu dalam kalimat (D-M dan M-D; frasa, kata majemuk, kata ulang, dll.)
- Memahami pola kalimat sesuai jabatan katanya.
- Melakukan proses membaca pemahaman secara bertahap, sehingga pengalaman membaca menjadi sesatu yang bermakna
- Rekomendasi: Metode Pengalaman Berbahasa untuk aktivitas membaca Permulaan; dan Merode SAS, Metode KWL, Metode Mindmapping untuk aktivitas membaca pemahaman.
2. Pengembangan Kemampuan Menulis
Menulis Permulaan merupakan aktivitas menerjemahkan simbol bunyi menjadi simbol visual (huruf). Sedangkan Menulis Komposisi adalah penuangan ide, pikiran, dan perasaan secara tertulis. Beberapa tahapan menulis antara lain:
· Pra-Menulis meliputi kemampuan fine-motorik, ketepatan posisi tubuh dan tangan saat menulis, ketepatan pengaturan pensil-kertas, pengenalan pola-bentuk huruf. Perkembangan pra-menulis ini juga dipengaruhi oleh kemampuan persepsi visual dan auditoris.
· Menulis-Permulaan meliputi pengenalan bentuk huruf, gerakan membuat pola bentuk huruf, dan aktivitas mengaitkan simbol bunyi dengan simbol visual-huruf.
· Menulis-Komposisi (Mengarang) meliputi aktivitas menuangkan ide, pikiran dan perasaan secara tertulis, sehingga dapat dipahami oleh orang yang sebahasa (Ha­lla­han, Kauffman, Lloyd, 1985). Aktivitas ini meliputi pemahaman dan penera­p­an akan penataan dan pengembangan pokok pikiran dalam bentuk karangan.
a. Pendekatan Perkembangan
Pendekatan teori per­kembangan memandang bahwa kemampuan menulis dipengaruhi oleh kemampuan pra-menulis. Oleh karena itu, penanganan kesu­litan menulis lebih diarahkan pada penguatan kemampuan pra-menulisnya. Beberapa latihan untuk mengembangkan kemampuan membaca dapat pula digunakan untuk mengembangkan kemampuan menulis, misalnya:
- Latihan konsep lateral yang mengembangkan konsep arah (atas-bawah, depan-belakang, tengah-tepi, kiri-kanan.
- Aktivitas membuat pola simbol/bentuk/pola garis lurus, garis lengkung, atau pola geometris, dan pada akhirnya pola huruf dan angka. Proses membuat garis bisa dilakukan dengan menyambungkan titik-titik, menyambungkan 2 buah titik menelusuri lorong, dst.
- Latihan mewarnai gambar tanpa melewati garis batas juga baik untuk mela­tih koordinasi visual-motorik
- Rekomendasi : Metode Fernald/Multisensori untuk menulis permulaan serta latihan-latihan gravomotor dan occupational therapy
b. Pendekatan Perilaku
Pendekatan teori perilaku memandang bahwa menulis merupakan bentuk keterampilan yang perlu terus dilatih untuk semakin mengasah dan mening­katkan taraf kemahirannya. Kesulitan dan hambatan dalam menulis mencer­min­kan kurang terampilnya anak melakukan aktivitas menulis. Oleh karena itu, model pembelajaran yang ditawarkan pendekatan ini berupa aktivitas yang diharapkan mengembangkan kemampuan koordinasi motorik (mata-tangan), kemahiran mengasosiasikan bunyi dan bentuk hurufnya, dan meningkatkan daya memorinya. Bentuk latihan-latihannya antara lain:
- Latihan menulis dengan huruf tegak bersambung dan huruf tak bersambung
- Aktivitas menjiplak, menyalin dan membuat bentuk huruf, kata atau kalimat
- Latihan dikte, baik itu dikte suku kata, kata maupun dikte kalimat
- Latihan menemukan huruf/kata tertentu dalam teks lalu menuliskannya
- Rekomendasi: Metode Dikte untuk aktivitas menulis, baik pada tahap menulis permulaan maupun menulis lanjut dan Mengarang dengan panduan gambar.
c. Pendekatan Kognitif
Pendekatan teori kognitif memandang bahwa menulis merupakan bentuk kemampuan terpola dan terencana dalam aktivitas mengaitkan, menuangkan, dan mengem­bang­kan apa yang dipikirkan atau dirasakan dalam bentuk tulisan.
- Latihan menemukan kaitan antara bunyi, simbol, dan makna.
- Membuat gambar tentang apa yang dipikirkan atau dirasakan dalam bentuk skema atau grafik
- Melakukan proses menulis yang terencana, sehingga dapat menampung pikiran dan perasaan yang ingin dituangkannya serta hasilnya dapat dipahami oleh orang lain
- Rekomendasi: Metode Mind Mapping, bisa digunakan untuk aktivitas menulis permulaan maupun menulis komposisi dan Metode 5W+1H
3. Pengembangan Kemampuan Berhitung
Berhitung merupakan salah satu bagian dari kemampuan matematis. Berhitung adalah kegiatan memaknai dan memanipulasi bilangan dalam aktivitas menjumlah, mengurang, mengali dan membagi (Dali S. Naga, dalam Abdurahman, 1994).
Sesuai taraf kesulitannya, secara sederhana, keterampilan berhitung bisa dipilah dalam beberapa tingkatan, yaitu:
· Pra-Berhitung meliputi beragam kemampuan prasyarat matematis, yaitu ke­mam­puan melakukan klasifikasi (mengelompokkan), komparasi (memban­ding­kan), simbolisasi (menyimbolkan), dan konservasi (menyimpan ingatan mengenai pola/konsep)
· Berhitung Sederhana meliputi aktivitas berhitung yang melibatkan kemam­puan operasi hitung sederhana (menjumlah, mengurang, mengali, membagi).
· Berhitung Kompleks meliputi aktivitas berhitung yang melibatkan kombinasi fxkemam­puan operasi hitung sederhana (menjumlah, mengurang, mengali, mem­bagi) secara bersamaan.
a. Pendekatan Perkembangan
Pendekatan teori per­kembangan memandang bahwa kemampuan berhitung dipengaruhi oleh kemampuan pra-berhitung. Oleh karena itu, pe­na­nganan kesu­litan berhitung lebih diarahkan pada penguatan kemampuan pra-berhitung. Berikut beberapa bentuk aktivitas yang dapat diterapkan dalam pembelajaran berhitung dengan pendekatan perkembangan:
- Latihan-latihan yang mengembangkan kemampuan mengelompokkan objek, sesuai bentuk, warna, maupun ukurannya
- Latihan-latihan yang mengembangkan kemampuan membandingkan dua buah objek, berdasarkan ukuran (panjang-pendek, besar-kecil) jumlah (banyak-sedikit, ganjil-genap), poisisi (tinggi-rendah, atas-bawah, depan-belakang, kiri-kanan), dan seterusnya.
- Latihan mengaitkan simbol angka dengan jumlahnya.
- Misalnya simbol angka 5 memiliki nama lima
- Jumlah yang terkandung dari simbol itu [◊ ◊ ◊ ◊ ◊]
b. Pendekatan Perilaku
Pendekatan teori perilaku memandang bahwa berhitung merupakan bentuk keterampilan yang perlu terus dilatih untuk semakin mengasah dan mening­katkan taraf kemahirannya. Kesulitan dan hambatan dalam berhitung mencer­min­kan kurang terampilnya anak melakukan aktivitas berhitung. Oleh karena itu, model pembelajaran yang ditawarkan pendekatan ini berupa aktivitas yang mempercepat dan mempermahir proses berhitung.
Bentuk latihan-latihannya antara lain:
- Membilang (mengurutkan nama bilangan)
- Berhitung cepat dalam mencongak
- Mengaitkan nama bilangan dengan jumlahnya
- Latihan soal penjumlahan, dengan atau tanpa teknik menyimpan
- Latihan soal pengurangan, dengan atau tanpa teknik meminjam
- Latihan soal perkalian dan pembagian
- Rekomendasi: Semua metode pengajaran dan latihan soal aritmatika, yang selain meningkatkan kemahiran berhitungnya sekaligus juga mengembangkan daya ingat dan daya tahan belajarnya
a. Pendekatan Kognitif
Pendekatan teori kognitif memandang bahwa berhitung merupakan bentuk kemampuan memahami pola dalam aktivitas menjumlah, mengurang, mengali, dan membagi. Pemahaman akan pola/rumus operasi hitung adalah tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini. Beberapa bentuk latihannya antara lain:
- Melatih anak menemukan pola dan makna nilai tempat
- Melatih anak menemukan cara mendayagunakan objek/benda untuk memu­dah­kan proses operasi hitungnya
- Membimbing anak menemukan sifat operasi hitung, seperti sifat komutatif, asosiatif dan distributif
- Rekomendasi: semua metode pengajaran aritmatika, yang memampukan siswa menggunakan pola atau rumus operasi hitung
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta: Depdikbud RI
Halahan, Daniel P. & Kaufman, James M. 1994.Exceptional Children - 9th Edition, Massachuset: Allyn & Bacon
Hernowo. 2003. Melejitkan Diri dengan Mengarang, Bandung: Mizan
Harwell, Joan M. 2000. Information & Materials for LD, New York: The Center of Applied Research in Education
Istiningrum, Maria (2005) Meningkatkan Keterampilan Mengarang pada Anak Bekesulitan Belajar melalui Pendekatan Proses di SD Pantara Jakarta Selatan, Skripsi, Tidak diterbitkan, Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta
Lerner, Janet.2000. Learning Disabilities - 9th Edition, Boston: Houghton Mifflin Company
McGregor, Sandy. 2004. Piece of Mind, Jakarta: Gramedia
Sumarlis, Vitriani.(2005) Kontribusi Aspek Motorik, Persepsi, dan Bahasa Terhadap Risiko Kesulitan Belajar (Identifikasi Dini yang Dilakukan Di Tingkat Prasekolah), Thesis, Tidak Diterbitkan, Depok: Fak Psikologi UI
Sunardi, dkk.1997. Menangani Kesulitan Belajar Membaca, Jakarta: Depdikbud RI
Vallet, Robert E.1969. Programming Learning Disabilities, California: Fearon Publisher

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ya, mungkin karena itu