Kamis, 14 April 2016

ANAK BERKESULITAN BELAJAR DALAM FGD

(Slipi, Jakarta Barat,  11 Mei 2015)

Oleh Untung S. Drazat

ABSTRAK
Catatan merupakan resume dan analisis tambahan dari penulis mengenai hasil diskusi terbatas tentang anak berkesulitan belajar. Diskusi ini mengenai keberadaan anak berkesulitan belajar dalam perspektif dan kerangka pembelajaran mereka di Indonesia. Dianalisis juga alternatif kemungkinan kerangka pembelajaran mereka dalam setting sekolah inklusif dan sekolah khusus. 

Diadakan atas prakarsa Bapak Jokokoentono (Galeri Nasional, Jakarta) dan Bu Arini Magdalena Soewarno (Sekolah Talenta, Jakarta). Diadakan di Sekolah Talenta Jakarta. Peserta diskusi antara lain Bapak Jokokoentono, Ibu Arini Magdalena Soewarno, Ibu Ages Soerjana, Bapak Yuli Riban, Ibu Irma Sph, dan penulis.



A.      Latar Belakang
1.       Karakteristik anak berkesubel:
a.       Normal secara fisik maupun mental              (tidak cacat fisik /mental)
b.      IQ normal                                                       (tidak di bawah rerata tapi bisa di atas rerata)
c.       Faktor penyebabnya internal , yaitu penyebab medis minimum brain disfunction (MBD)   atau disfungsi minimal di otak (DMO)        (bukan faktor eksternal)
d.      Ada gap yang lebar antara potensi kecerdasan vs prestasi-nya di sekolah.

2.       Menurut penelitian Balitbang Dikbud (1997) di sekolah-sekolah dasar reguler di Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung,  dan Kalimantan Barat terdapat 13,94% anak berisiko tinggal kelas. Rinciannya adalah:
a.       22%              anak dengan nteligensi tinggi
b.      25%              anak dengan inteligensi sedang
c.       52,6%           anak dengan inteigensi rendah

Dengan demikian, tanpa memasukkan 52,6% anak yang berinteligensi rendah, anak yang berisiko tinggal kelas itu sekitar 6,6%  adalah anak berkesubel yang kita maksudkan.

3.     Karena sebagian besar anak berkesubel terdapat di sekolah reguler, dengan guru-guru reguler, kondisi anak berkesubel berisiko tidak dipahami secara tepat. Implikasi dari kondisi ini antara lain:
a.       Terjadinya penyederhanaan permasalahan anak berkesubel, sehingga dianggap tidak serius
b.      Mempertukarkan antara kondisi berkesubel dengan hambatan belajar yang lain:
1)      Intellectual Disorder
a)      Lamban belajar                        (IQ antara >70 - hampir 90)
b)      Tunagrahita Ringan                (IQ antara 50 – 70)
2)      Anak Normal dengan Problem Belajar
Penyebab anak normal dengan problem belajar adalah berasal dari faktor luar anak dan bersifat sementara; misalnya karena kondisi sosial ekonomi rendah, konflik keluarga, perpindahan sekolah yang eksesif, dll. Dengan demikian, bila faktor luar penyebab itu terselesaikan, maka problem belajar anak pun akan hilang dengan sendirinya.
c.       Kemampuan, hambatan, minat, dan kebutuhan anak berkesubel  tidak tereksplorasi secara optimal dalam proses pembelajaran
d.      Penanganan yang tidak tepat membuat prestasi yang diraih anak jauh dari potensi optimalnya.


4.       Berikut adalah implikasi kurang dipahaminya anak berkesubel di dunia persekolahan:
a.       Bila anak berkesubel di sekolah reguler murni
Anak berkesubel kemungkinan besar tidak tertangani secara tepat sesuai kemampuan, hambatan, minat dan kebutuhannya. Karena, di sekolah-sekolah reguler tidak disediakan secara khusus guru pembimbing khusus (GPK) yang memahami dan mampu menangani ABK, termasuk anak berkesubel.

b.      Bila anak berkesubel di sekolah reguler-inklusif
1)      Bila tersedia gpk yang memadai dari segi kuantitas maupun kapasitas dalam memahami dan menangani, anak berkesubel akan meraih prestasi optimal. Kondisi sekolah inklusif seperti ini amat ideal dan amat sulit ditemukan.
2)      Bila tidak tersedia guru pembimbing khusus (GPK) yang memadai dari segi kuantitas maupun kapasitas dalam memahami dan menangani, anak berkesubel tidak akan meraih prestasi optimal. Kondisi sekolah inklusif seperti ini amat lazim ditemukan.
3)      Kerjasama antara guru reguler dan GPK di sekolah inklusif adalah hal yang niscaya diperlukan. Dan sayangnya, kerapkali GPK menjadi tumpuan satu-satunya apabila terdapat anak berkebutuhan khusus (ABK), termasuk di antaranya anak berkesubel, yang dianggap sult tertangani.

c.       Bila anak berkesubel di sekolah khusus
Sebelum membahas implikasi yang terjadi apabila anak berkesubel bersekolah di sekolah khusus, ada baiknya mencermati dulu istilah sekolah khusus.

Ada ketakajekan peristilahan ‘sekolah khusus’ yang perlu dijernihkan dalam hal ini. Di Indonesia, pada masa pra-merdeka sampai tahun 1990-an, anak berkebutuhan khusus disebut sebagai  ‘anak luar biasa’. Oleh karenanya, sekolah untuk mereka disebut sebagai sekolah luar biasa (SLB). Perkecualian pada SPLB C Cipaganti Bandung, yang menamai dirinya sebagai sekolah pendidikan luar biasa C (untuk anak tunagrahita).

Pada tahun 1990-an, anak-anak ini mempunyai istilah baru yaitu anak berkebutuhan khusus, berasal dari istilah children with special need di dunia pendidikan Barat. Namun, demikian penamaan untuk sekolah untuk mereka tidak mengalami perubahan, tetap SLB (sekolah luar biasa).
SLB-SLB ini dibagi-bagi sesuai dengan jenis kebutuhan khusus anak yang ditanganinya:
-       SLB-A     : untuk anak tunanetra (hambatan penglhatan)
-       SLB-B     : untuk anak tunarungu (hambatan pendengaran)
-       SLB-C     : untuk anak tunagrahita (keterbelakangan mental)
-       SLB-D     : untuk anak tunadaksa (hambatan gerak)
-       SLB-E     : untuk anak tunalaras (hambatan emosional dan penyesuaian diri)

Dalam perkembangan berikutnya, muncullah fenomena baru saat mana anak autisma, anak berkesubel, anak hiperaktif, dan seterusnya banyak teridentifikasi.   Anak-anak yang disebut terakhir ini adalah ABK juga, namun belum terakomodasi dalam SLB-SLB yang ada. Menjawab kebutuhan ini—maaf hanya menyebut beberapa sekolah yang berlokasi di Jakarta dan skitaranya, muncullah sekolah khusus Pantara dan Talenta untuk anak-anak berkesubel, sekolah Mandiga, Kriakon untuk anak-anak autisma, dan lain-lain.

Seiring dengan itu muncul pula sekolah-sekolah inklusif (swasta) atau sekolah reguler yang bermeta­morfosis menjadi sekolah inklusif.  Sekadar menyebut yang berada di wilayah Jakarta dan sekitarnya, Sekolah Madaniah, Adik Irma, Patmos, Lazuardi, PSKD Mandiri, BPK Penabur, termasuk beberapa sekolah “interasional” semacam Highscope, Jakarta International School, dan lain-lain, menerima anak-anak berkebutuhan khusus, terutama anak berkesubel dan autisma untuk menangani mereka secara bersama-sama dengan anak-anak reguler lainnya. Sampai di titik ini, setakat yang saya tahu, belum ada sekolah negeri yang secara khusus menangani anak berkesubel.

Lupakan dulu semua perbedaan dan konsekuensi dari istilah sekolah khusus di atas. Kita asumsikan, sekolah khusus yang kita maksudkan di sini adalah sekolah khusus bagi anak-anak berkesubel seperti sekolah Pantara dan Sekolah Talenta, Jakarta. Bila anak berkesubel bersekolah di sekolah khusus seperti ini mereka mungkin akan mendapatkan perlakuan sebagai berikut:

1)    Menurut pengalaman pribadi di sekolah khusus Pantara (saya tidak tahu kurikulum sekolah Talenta), sekolah khusus ini mengguna­kan kurikulum sekolah reguler, dalam hal ini kurikulum sekolah dasar reguler dengan berbagai modifikasi. Modifikasi kurikulum dilakukan pada hampir semua komponen kurikulum, yakni pada (a) tujuan, dalam KTSP adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD); (b) materi, dalam KTSP adalah Standar Isi (SI); (c) strategi/metode/proses, dalam KTSP adalah pengalaman belajar atau kegiatan pembelajaran; dan (d) evaluasi pembelajaran.

2)    Modifikasi dilakukan sesuai dengan kemampuan, hambatan, minat, dan kebutuhan siswa.
3)    Modifikasi pada komponen tujuan akan menuntut modifikasi pada komponen lainnya.
4)    Modifikasi pada komponen materi akan terutama menuntut modifikasi pula pada strategi pembelajaran.
5)    Dalam komponen evaluasi, anak mendapatkan dua laporan hasil belajar; (a) raport SD sesuai tuntutan kedinasan; dan (b) raport uraian, yakni raport khusus yang isinya mendeskripsikan proses dan alasan tercapai atau tak tercapainya tujuan kurikulum selama rentang waktu tertentu. Dalam raport uraian ini, disampaikan deskripsi pula proses dan alasan tercapai atau tak tercapainya tujuan modifikasi perilaku yang ditetapkan psikolog sekolah.

Dengan tuntutan modifikasi dan penyesuaian proses pembelajaran seperti ini, maka agar seoptimal mungkin dapat mengakomodasi kemampuan, hambatan, minat,dan kebutuhan anak, maka sekolah khusus berkesubel membutuhkan:
1)    Tenaga pendidikan yang mahir serta memahami dan menghayati peran sebagai pendidik ABK, dalam hal ini anak berkesubel
2)    Pembatasan jumlah siswa dalam satu rombongan belajarnya
3)    Tetap berpihak pada kemampuan, hambatan, minat, dan kebutuhan anak berkesulitan belajar ketimbang tuntutan kurikulum semata.

Apabila sekolah khusus dapat mengakomodasi kemampuan, hambatan, minat, dan kebutuhan anak berkesubel, maka kemungkinan besar anak berkesulitan belajar akan dapat mencapai prestai seoptimal mungkin sesuai potensi yang dimilikinya. Namun demikian, karena layanan pendidikan ini bersifat ideal karena harus multi-disiplin, multi-profesi, variasi pendekatan/strategi pembelajaran serta pemabatasan jumlah siswa, kelemahan sekolah khusus untuk anak berkesulitan belajar biayanya relatif tinggi.

B.      Permasalahan
1.    Dari uraian di atas maka dapat dicatat beberapa permasalahan mengenai anak keberadaan berkesubel  dan layanan pendidikannya secara umum, yaitu:
a.       Keberadaan dan kondisi anak berkesubel masih belum dipahami dan diterima secara tepat
b.      Pendekatan, layanan, dan penanganan anak berkesubel masih jauh dari optimal
c.       Belum optimalnya layanan pendidikan yang dapat mengakomodasi kemampuan, hambatan, minat, dan kebutuhan anak berkesubel. Layanan pendidikan dimaksud termasuk layanan pendidikan di sekolah reguler-murni, sekolah reguler-inklusif, SLB, sekolah khusus.
d.      Di satu sisi kecenderungan mendorong anak berkesubel untuk dilayani di sekolah inklusif adalah langkah positif, tetapi di sisi lain cenderung melahirkan tindakan “pembiaran” terhadap anak berkesubel karena tidak semua sekolah inklusif memiliki GPK yang kapabel memahami dan menangani anak berkesubel  di sekolah inklusif tersebut.
e.      Belum adanya sekolah negeri yang secara khusus menangani anak berkesubel mengisyaratkan belum tergeraknya pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan, dan Depdikbud untuk melihat dan urun rembuk memberikan pelayanan bagi anak berkesulitan belajar.
f.        Belum tersedianya atau tidak diterbitkannya model kurikulum bagi anak berkesubel  yang sudah dirancang Balitbang Dikbud sekali lagi mengisyaratkan pihak pemerintah masih setengah hati dalam memperhatikan dan memberikan pelayanan bagi anak berkesubel
g.       Biaya operasional layanan pendidikan khusus (swasta) untuk anak berkesubel relatif mahal.

2.       Keberadaan sekolah khusus bagi anak berkesubel sampai saat ini masih mencari bentuk yang sesuai. Beberapa pihak masyarakat/yayasan yang mengoperasikan sekolah khusus bagi anak berkesulitan belajar masih belum seragam, baik itu peristlahannya maupun pengindukannya secara kedinasan. Ada yang berupa sekolah reguler (SD/SMP/SMA/SMK) ada juga yang berafiliasi ke pendidikan khusus (dahulu SLB). Beberapa pertanyaan yang muncul adalah:
a.    Sekolah khusus yang tepat bagi anak berkesulitan belajar itu sekolah khusu yang bagaimana?
b.    Apakah sekolah khusus sebagai istilah lain dari SLB sebelum tahun 1990-an?
c.     Apakah sekolah khusus ini berbeda dengan SLB yang sudah ada?
3.       Lalu mengenai kurikulum untuk sekolah khusus bagi anak berkesubel, muncul pula pertanyaan:
a.    Kurikulum bagi sekolah khusus untuk anak berkesubel ini bagaimana?
b.    Setakat belum ada kurikulum khusus bagi anak berkesubel, kurikulum yang manakah yang digunakan?
c.     Apakah sekolah khusus bagi anak berkesulitan belajar menggunakan kurikulum sekolah reguler yang dimodifikasi?
d.    Komponen kurikulum yang mana saja yang boleh dimodifikasi?
e.    Batasan dan kriteria modifiksi kurikulumnya bagaimana?
f.     Perlukah dibuat kurikulum khusus tersendiri bagi anak berkesubel?
g.    Pada tahun 2007-2008, Pusat Kurikulum Balitbang Diknas pernah merancang “model kurikulum bagi anak berkesubel”; bisakah dimanfaatkan, didayagunakan, ataukah perlu dikaji ulang terlebih dulu lagi untuk disesuaikan dengan perkembangan kekinian?


C.      Alternatif Solusi
1.       Beberapa alaternatif solusi yang dapat diusulkan mengenai keberadaan anak berkesulitan belajar secara umum antara lain:
a.       Agar keberadaan dan kondisi anak berkesubel dapat dipahami dan diterima secara tepat, diperlukan kampanye terus menerus mengenai keberadaan anak berkesulitan belajar terutama di lingkungan pendidikan juga di lingkungan lain
b.      Belum optimalnya layanan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar yang disebabkan oleh mahalnya biaya layanan, perlu dipikirkan solusinya, misalnya dengan subsidi khusus bagi anak berkesulitan belajar yang berasal dari kalangan menengah ke bawah
c.       Belum optimalnya layanan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar yang disebabkan oleh kurangnya SDM yang memahami dan kapabel menanngani anak berkesubel,mungkin bisa dilakukan dengan semacam pendidikan-pelatihan yang berjenjang. Kerjasama dengan pihak akademisi memahami dan GPK yang berpengalaman menangani anak berkesulitan belajar bisa menjadi alternatif solusi.
d.      Banyaknya anak berkesulitan belajar di sekolah inklusif perlu dibarengi dngan peningkatan kuantitas dan kualitas GPK yang disiagakan untuk menangani anak berkesulitan belajar di sekolah inklusif tersebut.
e.      Belum adanya sekolah negeri yang secara khusus menangani anak berkesubel seharusnya mendorong pemerintah untuk membangun sekolah khusus untuk anak berkesubel, sehingga bisa dijadikan model dan rujukan bagi sekolah swasta yang memiliki tujuan yang sama.
f.        Solusi bagi tingginya biaya operasional sekolah khusus (swasta) bagi anak berkesulitan belajar antara lain:
§  Bila perlu pemerintah membangun sekolah negeri khusus untuk anak berkesubel, sehingga sebagian biaya opersionalnya dianggarkan oleh pemerintah, dan masyarakat yang memiliki anak berkesubel menjadi tidak terlalu terbebani. Langkah ini agak mewah karena pemerintah harus memulai dari awal, dari infra sampau supra-strukturnya.
§  Mengubah status swasta sekolah penyelenggara pendidikan bagi anak berkesulitan belajar menjadi sekolah negeri sekolah swasta yang sudah ada. Langkah ini lebih hemat karena pihak pemerintah tidak memulai dari awal melainkan “hanya” mengambil alih tanggung jawab kepemilikan dan menanggung biaya operasional selanjutnya.
§  Mengangkat guru (GPK) yang PNS untuk diperbantukan di sekolah swasta (istilahnya guru DPK) yang menangani anak berkesubel. Langkah ini bisa sebagai langkah startegis karena hanya berkaitan dengan status kepegawaian guru DPK tersebut. Namun langkah ini akan kurang berdampak luas apabila jumlah guru DPK-nya hanya sedikit.
§  Memberikan, meningkatkan jumlah, atau memperluas jenis bantuan operasional khusus bagi swasta yang khusus menangani anak berkesubel .



2.       Mengenai jenis/jenjang persekolahan, diajukan beberapa alternatif solusi sbb:
a.       Pemerinta perlu menentukan, sekolah khusus untuk anak berkesulitan belajar ini ada di jenis sekolah yang mana. Apakah semacam SLB atau semacam sekolah reguler. Pilhan ini harus mempertimbangkan pula jenis ijazah yang akan dikeluarkan sekolah tersebut karena akan berkaitan dengan prasyarat mengikuti jenjang pendidikan anak berkesubel selanjutnya. Kalau sekolah tersebut adalah sekolah reguler (dengan mempertimbangkan tingka kecerdasan mereka yang rerata atau di atas rerata), otomatis ijazahnya adalah dapat dipergunakan sebagai prasyarat mendaftar ke sekolah lanjutannya.
b.      Adapun kalau pilihannya bahwa sekolah khusus untuk anak berkesubel termasuk SLB, perlu dipikirkan pula bagaimana status ijazahnya bila anak berkesubel lulusan di jenjang pendidikan sebelumnya ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya. Perlu pula diperhitungkan pula bagaimana langkah antisipatifnya: seberapa luas pilihan lulusan memilih sekolah lanjutan yang ada?
c.       Dapat juga pemerintah membuat nomenklatur baru untuk pendidikan anak berkesubel ini. Misalnya bahwa sekolah khusus bagi anak berkesubel merupakan jenis sekolah baru yang dalam pelaksanaan pembelajaran mungkin mirip dengan sekolah khusus lainnya dengan pertimbangan hambatan dan kebutuhan-nya. Namun ia berhak mendapatkan ijazah yang sama dengan sekolah reguler dengan mempertimbangkan level kemampuan (kecerdasannya yang rerata atau di atas rerata) sebagaimana anak reguler lainnya.

3.       Adapun alternatif solusi yang bisa diajukan mengenai keberadaan kurikulum untuk sekolah khusus bagi anak berkesubel antara lain:
Pemerintah mulai harus menentukan apakah bagi anak berkesulitan belajar ini perlu kurikulum khusus atau tidak. 
a.    Bila anak berkesulitan belajar memerlukan kurikulum khusus, langkah perancanganan (atau lebih tepatnya perancangan kembali) kurikulum bagi anak berkesulitan belajar perlu segera direncanakan. Sebagaimana telah disebutkan, pada tahun 2007-2008, Pusat Kurikulum Balitbang Diknas pernah merancang “model kurikulum bagi anak berkesubel”; namun sayangnya dengan pertimbangan yang kami tak tahu, model kurikulum itu tidak sampai diterbitkan oleh Pusat Kurikulum.
b.   Bila pemerintah memang berniat merancang kurikulum khusus untuk anak berkesulitan belajar, draft Model Kurikulum Anak Berkesulitan Belajar yang ada di Pusat Kurikulum dapat dijadikan entry point-nya.
c.    Adapun bila pemerintah tidak berniat melanjutkan draft kurikulum tersebut, mungkin langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
§  Harus ditentukan kurikulum apa yang harus dijadikan rujukan bagi sekolah khusus untuk anak berkesubel.
§  Bila rujukannya adalah kurikulum sekolah reguler, berarti pihak sekolah akan memodifikasi kurikulum tersebut agar sesuai dengan tingkat kemampuan, hambatan, minat, dan kebutuhan anak berkesubel di sekolah tersebut. Dengan demikian, harus pula dirinci ketentuan dalam modifikasinya:
-  Kriteria modifikasi           :     Batasan dalam menurunkan/menaikkan bobot, menambah/mengurangi SK-KD, menambah/mengurangi materi, menambah/mengurangi evaluasi, dst
-  Teknik modifikasi            :     Bagiamana langkah memodifikasinya         
-  Implikasi Modifikasi        :     Bentuk strategi pembelajaran, bentuk evaluasi dll.
§   Bila ada kemungkinannya  sekolah khusus untuk anak berkesulitan belajar menggunakan/memodifikasi kurikulum SLB, perlu dijelaskan pula kurikulum SLB yang boleh digunakan/dimodifikasi.   

Tidak ada komentar: