Senin, 11 Maret 2013

RESENSI FILM: DISLEKSIA INDIA VERSUS DISLEKSIA INDONESIA


Ada dua film tentang anak disleksia. Yang satu made in India, yang lain made in Indonesia. Yang versi India tokoh sentralnya bernama Ishaan Awasti. Yang versi Indonesia, Ikhsan Effendi. Oh, ternyata yang versi Indonesia ”meniru” (kata yang lebih sopan dari "menjiplak") dari versi India.


sumber foto: http://www.imdb.com/media/rm1233622016/tt0986264
Identitas Film (1) : Taare Zameen Par
Rilis
:
21 Desember 2007
Tagline
:
Every child is special
Produser/Sutradara
:
Aamir Khan
Penulis Skenario
:
Amole Gupte
Konsep/Riset/Editor
:
Deepa Bathia
Penata Musik
:
Shankar Mahadevan, Ehsaan Noorani,Lou Mendonca
Sinematografi
:
Setu
Pemain
:
Aamir Khan (Ram Shankar Nikumbh), Darsheel Safary (Ishaan Awasthi),Tisca Chopra (Mama/ Maya Awasthi), Vipin Sharma, (Papa/Mr. Awasthi), Sachet Enginer (Dada/Yohaan Awasthi, kakak Ishaan)

Sumber Foto: http://www.indonesianfilmcenter.com/pages/filminfo/movie.php?uid=db43618f0725

Identitas Film (2) : Ikhsan: Mama I Love You
Rilis
:
20 Juni 2008
Tagline
:
Kasih membuka mata dan pendidikan adalah jembatan antar jiwa
Produser/Sutradara
:
Rico Michael Bradley
Penulis Skenario
:
Rico Michael Bradley
Konsep/Riset/Editor
:
-
Asisten Sutradara

Richard Olsen
Soundtrack
:
Alexa & Kenie
Art Director
:
Rusli Andaah
Pemain
:
Ibnu Jamil (Pak Guru Harun), M. Farouq (Ikhsan Effendi),Wulan Guritno (Mama), Jesse Lantang (Papa Effendi), Gahara (Kakak Ikhsan)


Film versi India berjudul Taare Zameen Par (selanjutnya TZP) sedangkan versi Indonesia judulnya Ikhsan: Mama, I Love You (selanjutnya I:MILY). Kedua film ini memiliki bangunan cerita yang persis sama: perjalanan anak disleksia; dari minder menjadi percaya diri, dari tak diacuhkan menjadi 'tajuk berita'. Berikut ini sinopsis keduanya.

Ishaan/Ikhsan adalah seorang murid sekolah dasar yang memiliki karakteristik disleksia, yaitu suatu kondisi dimana individu mengalami kesulitan membaca karena hambatannya dalam mempersepsi bentuk, ukuran dan arah sebuah simbol huruf atau angka. Karena kondisinya ini ia tidak naik kelas beberapa kali.





Pada dasarnya, ia adalah anak yang periang. Senang berfantasi dan mahir dalam menggambar. Sayang, karena kerap mengalami kegagalan dalam pelajaran ia menjadi anak yang tidak percaya diri, cenderung deffensive dan kadang offensive. Dengan kondisi ini pula ia dianggap sebagai anak pemalas, terlalu banyak main dan tidak disiplin. Akhirnya orangtuanya pun memutuskan untuk memindahkan si anak ke sekolah berasarma. Harapannya, dengan sistem boarding school tersebut, pola belajar dia akan dapat lebih teratur, lebih disiplin dan mandiri. Ternyata di sekolah ini pun dia mendapatkan perlakuan yang tak jauh berbeda; menjadi bahan olok-olokan teman dan tumpahan kekesalan guru-gurunya karena ia tetap kesulitan membaca.


Nasib baik menoleh saat hadir guru kesenian baru. Guru tersebut bertugas menggantikan sementara guru kesenian lama yang sedang cuti. Dia sebenarnya adalah guru sekolah luar biasa. Sifat khasnya yang  periang menggugah para siswa saat mengajar. Sang guru berempati terhadap kondisi Ikhsan/Ishaan. Ternyata, karena sang guru pun sama dengan murid istimewanya itu, sama-sama disleksia. Dengan bimbingan guru SLB yang simpatik itu, dia mengalami perkembangan pesat dalam kemampuan membacanya. Upaya pembelajaran individual tidak begitu ditampakkan dalam versi I:MILY. Alhasil, tahapan kemajuan kemampuan membaca Ikhsan kurang begitu meyakinkan). Yang jelas, ia semakin percaya diri dan menunjukkan potensinya secara optimal. Ia pun berhasil menjadi juara pertama dalam lomba menggambar di sekolahnya.


Ending-nya? Baik versi India maupun versi Indonesia sama-sama happy ending. Yang menjadi catatan adalah TZP lebih logis dibanding I:MILY, yg terkesan ”nanggung” dan kurang meyakinkan.
Dalam TZP, gambar hasil karya anak dileksia yang menjadi juara itu dijadikan sampul buku tugas kesenian untuk satu tahun ajaran, dan penonton pun dapat  menyaksikan wujudnya. Sedangkan dalam I:MILY, wujud gambar si juara itu sedikit pun tak dimunculkan. Ketentuan bahwa gambar juara pertama akan menjadi sampul majalah pun sekadar kabar yang dilisankan. Tak berlebihan ketika penonton di sebelah penulis bertanya-tanya: Lho gambar yang jadi juaranya mana? Pokoknya juara! Kualitas­ gambar seperti apa sehingga layak menjadi juara juga tidak penting. Satu keputusan sutradara yang cukup tragis sebenarnya. Karena, justru di sinilah titik kulminasi dan ruh film ini. Karena, peristiwa perlombaan gambar inilah yang mengubah persepsi, sikap, dan kecenderungan bertindak sang tokoh utama dan tokoh-tokoh lain dalam film tersebut. Bahkan nasib tokoh utamanya pun berubah karenanya. Tapi, sampai film berakhir, penonton tetap tidak tahu wujud gambar si juara itu seperti apa.


Agaknya Rico Bradley (sutradara I:MILY) kurang begitu yakin tentang kriteria gambar yang bagus. Mungkinkah karena yang menjadi Juri Tamu dalam film tersebut adalah Adam Jordan (bukan Dik Doank, sebagaimana yang tertulis dalam skenarionya)? Apakah karena Adam Jordan dianggap kurang meyakinkan sebagai juri lomba menggambar? Entahlah.


Satu hal lain yang membuat versi India lebih logis. Dalam satu scene TZP digambarkan Ishaan sedang membaca, meski dengan mengeja dan terbata-bata.Tanpa sepengetahuan Ishaan, ayahnya menyaksikan kejadian tersebut saat hendak pulang dari kunjungannya ke sekolah. Ayahnya tampak terharu dan buru-buru menyingkir. Dia merasa malu hati karena baru saja ia komplain kepada guru kesenian yang telah secara tekun mengajari anaknya membaca.


Dalam I:MILY, tidak ditemukan satu adegan pun yang menunjukkan Ikhsan sudah mulai bisa membaca. Oleh karenanya, ketika Ikhsan mendapatkan puja-puji dari para guru, kepala sekolah, dan ketua asrama bahwa ia anak yang cerdas, berbakat, dan hebat setelah menjadi juara pertama lomba menggambar, terkesan menjadi tampak berlebihan dan tidak jelas alasannya. Kesan yang muncul adalah: dengan menjadi juara lomba gambar semua persoalan dileksianya menjadi hilang! Benarkah demikian? Kemampuan membaca dan keterampilan menggambar adalah dua hal yang berbeda—meski bisa saja yang satu mempengaruhi yang lain.


Kesan kurang meyakinkan yang lain dalam I:MILY adalah saat menampilkan adegan-adegan pembelajaran di SLB, tempat guru kesenian pengganti itu mengajar. Dalam film ini tidak begitu tampak suasana SLB di sana. Rico Bradley agaknya kurang mengarahkan pemerannya (yang anak-anak normal) untuk menjadi anak-anak SLB. Aamir Khan (produser sekaligus sutradara TZP) dengan berani menampilkan anak-anak SLB sebenarnya, Bukan sekadar untuk mengail keharuan. Tapi dengan pendekatan seperti itu suasana SLB dan ketulusan para guru saat membimbing anak-anak berkebutuhan khusus menjadi benar-benar tampak alami.


Salah satu masalah klasik perfilman Indonesia adalah keenganan melakukan riset sebelum membuat film! Di India, tak kurang dari Aamir Khan, Amole Gupte (penulis skenario  sekaligus Creative Director), Deepa Bathia (editor) melakukan riset yang mendalam terlebih dulu sebelum menuliskan skenario filmnya. Paling tidak, pada credit title film TZP tercantum nama Asosiasi Disleksia Maharastra, India. Aamir Khan juga, kabarnya, merasa perlu untuk meminta izin resmi kepada orangtua dari anak yang dijadikan tokoh model dalam filmnya.


Sebenarnya Rico Bradley juga melakukan semacam observasi dan penelaahan sebelum I:MILY dibuat. Bahkan tempat observasinya relatif tepat, yaitu di sekolah khusus yang menangani anak-anak berkesulitan belajar—diantaranya disleksia; yaitu di SD Pantara. Namun sayang hal itu dilakukan sekadarnya, hanya dua hari! Itu pun menjelang pengambilan gambar. Artinya, skenarionya sendiri sudah jadi (tepatnya sudah disalin dari skenario TZP). Dan saat penulis menanyakan mengapa tidak ada ahli pendidikan atau psikolog dilibatkan dalam penulisan skenario atau proses produksi film tersebut? Sang produser pelaksana dengan santai menjawab: ”Dalam versi aslinya (TZP), tokh sudah dilakukan studi dan didukung oleh ahli-ahli yang kompeten!” Sayangnya, pengakuan diam-diam ini tidak diwujudkan dalam credit title.Tidak ada nama Aamir Khan atau Amole Gupte. Tidak pula diakui bahwa film Ikhsan: Mama I Love You itu diilhami, atau ditiru atau di remake dari versi aslinya: Taare Zameen Par. Sebuah sikap enggan menghargai karya cipta orang lain.


Kalau saja tim I:MILY sedikit berendah hati, mungkin akan banyak simpati kepada film keluarga bertema pendidikan ini. Agak naif sebenarnya, ketika I:MILY sebagai versi Indonesia dari TZP tidak mencantumkan sedikitpun asal muasalnya. Karena TZP adalah film berkelas yang diperbincangkan di tingkat dunia. TZP adalah film terbaik dalam Filmfare Movie Award dan Starscreen Award 2008 di India. Bahkan, dalam 81st Academy Award 2009, TZP adalah peserta yang diunggulkan sebagai film berbahasa asing terbaik. Sementara itu, untuk versi DVD-nya, pihak Walt Disney berkenan menjadi distributornya, terutama untuk wilayah edar negara-negara berbahasa Inggris seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanda, Australia, dan Selandia Baru. Suatu bukti kecil pengakuan atas kualitas film TZP ini.


Akhirul kata, karena SD Pantara menjadi salah satu lokasi pengambilan gambar, beberapa orangtua murid SD Pantara sempat bertanya mengenai kualitas dan cerita I:MILY itu. Dengan berat hati penulis kurang merekomendasi-kan film ini untuk ditonton anak-anak... Penulis merasa, dalam film I:MILY terlalu banyak kata-kata dan tindakan yang tergolong kasar (hingga kurang cocok untuk ditonton anak-anak). Siapa, mengapa, dan bagaimana anak disleksia juga tidak begitu terjelaskan dalam film ini.


Judulnya pun agak ribet; Ikhsan: Mama I Love You. Mengapa Ikhsan musti bilang "Mama, I love you" begitu juga kurang jelas alasannya. Dalam bangunan cerita film I: MLY, tidak tergambarkan perjuangan Mama untuk menemukan solusi (paling tidak usaha mencari sekolah, guru, atau treatment yang tepat untuk menolong kondisi Ikhsan.


Saran saya, kalaupun terpaksa ingin menonton bersama anak-anak, bersiap-siaplah menutupi mata atau telinga anak-anak kita saat muncul adegan yang mengumbar kata-kata atau perilaku kasar. Sebagai film keluarga, I:MILY belum begitu aman bila ditonton anak-anak... Artinya, anak-anak harus tetap harus didampingi orangtua bila menonton film ini. Sayang sekali. 


Penulis, malah menyarankan untuk menonton versi India-nya. Karena kedua film ini sudah tidak lagi di putar di bioskop, mungkin bisa dicari format CD atau DVD-nya. Sayang!


 * Penulis adalah mantan Kepala Sekolah Dasar Pantara,
sekolah khusus untuk anak-anak berkesulitan belajar,
termasuk di antaranya anak disleksia, salah satu lokasi syuting film  I: MILY 

Sebagai catatan, resensi ini sebenarnya sudah ditulis sejak tahun 2008, seminggu setelah filmnya tayang di Blitzmegaplex. 
(Maaf, baru sempat meng-upload...)




6 komentar:

Endang Saeful Munir mengatakan...

betul2 mantap ni film, kami dikantor sengaja menonton film ini bersama2.. wow.. banyak pencerahan dan inspirasi kedepan dalam pengembangan diklat bagi guru. Dan tidak kalah penting hampir semua penonton berharu biru.. makasih mas filmnya

Endang Saeful Munir mengatakan...

betul2 mantap ni film, kami dikantor sengaja menonton film ini bersama2.. wow.. banyak pencerahan dan inspirasi kedepan dalam pengembangan diklat bagi guru. Dan tidak kalah penting hampir semua penonton berharu biru.. makasih mas filmnya

Unknown mengatakan...

salam kenal pak... :)
sy sbg slh 1 ortu abk sgt terharu dan smpat terpikir knp di indonesia tidak pernah dibuat film sebagus ini, sehingga bisa memudahkan dlm mensosialisasikan keberadaan abk. tpi membaca resensi bapak, sptnya sy harus menyetop harapan tsb ya, krn spt bpk bilang kalo tdk dilakukan observasi scr serius film tsb tdk akan ada ruh nya.
trnyata pernah ad d bioskop ya.. syg skali sy ga nonton... :(
maaf pak, apakah bapak punya film ini? kira2 dmn sy bs dpt vcd/dvd nya ya? trims.

Untung S. Drazat mengatakan...

Pak Rakhmat, maaf baru saya balas. Saya punya kedua film ini dlm bentuk DVD.
Taara Zameen Par versi India merupakan kenang-kenangan dari Dr.Jayanti Narayan (Doktor Pendidikan dari India) yang tengah bertugas di Helen Keller Internasional Indonesia.
Adapun Ikhsan MILU versi Indonesia saya "produk" Glodok Pak, maaf. Saya kesulitan menemukan DVD resminya.
Kalau tak keberatan, boleh saya minta alamat e-mail Bapak?
Tks..

herta mengatakan...

Film tersebut bs di cari dimana ya?

danker keren mengatakan...

Numpang di Share ya :)

- Murid bapak di Pantara Hashfi