Selasa, 03 Februari 2009

KERANGKA MODEL PEMBELAJARAN ANAK BERKESULITAN BELAJAR DI SEKOLAH DASAR

 A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia, data terbaru mengenai prevalensi anak-anak berkesulitan belajar belum dapat dipastikan. Hal ini kemungkinan karena belum seragamnya definisi dan istilah kesulitan belajar. Penggunaan istilah kesulitan belajar kadang diper­tukar­kan dengan kondisi-kondisi yang lain, seperti lamban belajar (slow learner) dan berma­sa­lah dalam belajar (learning probleme) atau tunagrahita (mentally retardation). Istilah-istilah tersebut tidaklah bermakna sama.

Sebagai gambaran, prevalensi anak-anak yang mengalami kesulit­an belajar di Amerika sekitar 5%. Diperkirakan pula, lebih dari 20% anak usia sekolah di sana mengalami permasalahan dalam belajar, meskipun belum tentu teridentifikasi sebagai anak berkesulitan belajar (Wallace, 2002). Adapun menurut Lerner (2000) layanan pendidikan khusus dinikmati oleh 40% dari seluruh anak berkebutuhan khusus. Dari jumlah tersebut sebagian besar di antaranya adalah siswa berkesulitan belajar.
Dalam hal Indonesia, survei Abdurrahman dan Ibrahim (1994) terhadap 3.215 siswa kelas satu hingga kelas enam di 25 Sekolah Dasar Negeri di Jakarta menemukan 16,52% siswa yang dinyata­kan oleh gurunya sebagai siswa berke­sulitan belajar karena ni­lai rata-rata prestasi belajar mereka di bawah enam. Klaim guru terhadap persentasi ini be­­lum­ tentu sepenunhya tepat. Ka­re­na, tidak semua anak yang nilai rata-ratanya di ba­wah enam adalah anak ber­kesulitan belajar. Mungkin saja di antara mereka terda­pat anak-anak yang lam­ban belajar, bermasalah dalam belajar atau tuna­grahita ringan.