Selasa, 27 Januari 2009

THE FORGETTER

(Si Pelupa)

A. Perilaku
Sikap-sikap dan tindakan khas anak ini di rumah maupun di sekolah .
1. Tidak bisa menyelesaikan tugas sekolah.
2. Tidak membawa alat dan perlengkapan sekolah ke kelas.
3. Lupa untuk memenuhi tanggung jawabnya.
4. Terus-terusan meminjam alat dan perlengkapan kepada siswa lain.
5. Ingin keluar kelas untuk mengambil alat perlengkapan-nya yang tertinggal.
6. Tampak bingung dan linglung karena lupa.
7. Tidak mengembalikan sesuatu (misalnya pensil atau uang) yang pernah
dipinjamnya.

SD PANTARA: Solusi bagi Anak Cerdas yang Sulit Belajar


[Dikutip dari Majalah Dharma Pertiwi Edisi 81: Januari 2008]


Ada banyak anak cerdas, namun mereke tidak dapat memperlihatkan kecerdasannya karena mengalami kesulitan pada saat belajar. Mereka dikenal sebagai anak-anak disleksia (kesulitan membaca), disgrafia (kesulitan menulis), disfasia (kesulitan memahami bahasa), dan ADHD (hiperaktif). Semua itu ‘hanya’ disebabkan oleh ketidakmampuan si anak dalam mengendalikan emosinya.

Adalah Ibu Karlinah Wirahadikusumah—mantan Ibu Wakil Prsiden—yang merasa turut bertanggung jawab dalam mencetak generasi penerus, apapun keadaan mereka. Dengan dasar itu, pada tahun 1986 beliau mendirikan Yayasan Pantara yang mengelola Sekolah Dasar Pantara, sekolah khusus bagi anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik. letaknya di Jalan Senopati 72 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Jumat, 23 Januari 2009

DETIK-DETIK PROKLAMASI

Babak I

Narator : DETIK-DETIK PROKLAMASI
Suara/Musik : Bergemuruh ... suara orang-orang berbisik-bisik ...
Setelah itu senyap
Narator : DETIK-DETIK PROKLAMASI

Sebuah karya drama Anak-anak Pantara.Berkisah tentang perjuangan Bangsa Indonesia dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan bangsanya ... Kemerdekaan kita semua ... Memang ada banyak perbedaan ... Memang ada banyak perdebatan ... Tapi pada akhirnya kita harus bersama sama. Karena tujuan kita bersama.
Mencapai kemerdekaan.

Musik : Bersuasana agung ... mengiringi perkenalan pemain ...

Para pemain masuk dari sebelah kiri panggung

Narator : Para pemain

1. ............... sebagai Bung Karno
2. ............... sebagai Bung Hatta
3. ............... sebagai Bung Subardjo
4. ............... sebagai Subadio
5. ............... sebagai Sukarni
6. ............... sebagai Iwa Sumantri
7. ............... sebagai Sayuti Melik
8. ............... sebagai Wikana
9. ............... sebagai Pemain-1
10. .............. sebagai Pemain-2
12. .............. sebagai Suara-suara
13. .............. sebagai Narator

Musik : Berhenti
Pemain kembali ke belakang lewat sebelah kanan panggung



Babak II

Narator : Proklamasi Indonesia berlangsung pada tanggal 17 Agustus 1945. Tapi, tahukah kalian, Bagaimana proklamasi itu dipersiapkan? Inilah kisahnya. Selamat mengikuti ...

Musik : Bertempo sedang tapi bernada semangat.
Narator : Hari Rabu, Tanggal 15 Agustus 1945 ... Terjadi perdebatan antara tokoh-tokoh muda melawan tokoh tua. Perdebatan antara Wikana melawan Bung Karno

Pemain-1 : [Membawa poster bertuliskan 15 AGUSTUS 1945.Masuk panggung lalu keluar lagi]
Wikana : Bung Karno, Jepang telah kalah oleh Tentara Sekutu. Jadi, kita tidak lagi dijajah oleh Jepang. Kenapa kita takut menyatakan kemerdekaan sendiri?
Bung Karno : Bung Wikana, kita sedang mengadakan perjanjian dengan Jepang. Perjanjian untuk mengupayakan kemerdekaan kita. Itulah makanya kita bentuk BPUPKI dan PPKI
Wikana : Ah, itu bukan kita yang buat. Tapi Jepang.

Selanjutnya . . .  

SEKOLAH KHUSUS UNTUK ANAK-ANAK ISTIMEWA



[dikutip dari rubrik KELUARGA, Tabloid Wanita Indonesia,
No. 916, 25 Juni – 1 Juli 2007]
Oleh Dewi Muchtar

Saat ini ada 3 sampai 4 juta anak-anak
dengan kesulitan belajar spesifik di Indonesia.
Padahal, mereka memiliki potensi intelektual
yang baik
namun tidak muncul
dalam prestasi belajar di sekolah.



Perasaan Thea, 45 tahun, tak menentu dan jantungnya deg-degan saat kepala sekolah membagikan hasil nilai ujian siswa kelas 6 SD Pantara, yang terletak di Jalan Senopati Raya, Kebayoran Baru, Jakarta.

Seperti ibu-ibu lainnya, Thea tengah menunggu hasil ujian akhir putri sulungnya, Widiarthi Kusumoningtyas, 12, atau yang akrab disapa Ajeng.
Tak sampai menunggu lama, wajah ibu tiga putra ini berubah ceria ketika membaca pengumuman yang tertera di lembar kertas ukuran kwarto itu. Matanya terbelalak takjub dengan nilai yang tertera, Ajeng lulus dengan nilai rata-rata 7,5.

UNTUNG S. DRAZAT: MENYIAPKAN ANAK AUTIS


[dikutip dari Rubrik PROFESI, Majalah d’Maestro, edisi Juni 2004]
Oleh Dwi Ratih

Siang itu suasana kelas V di SD Pantara
di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
sangat meriah. Saat itu adalah sesi akhir
kegiatan belajar hari itu, saatnya mengevaluasi
target capaian murid yang dirumuskan sendiri
oleh masing-masing murid setiap minggunya.

Suasana riuh memenuhi ruang kelas berukuran sekitar 50 meter persegi itu. Murid-murid yang hanya terdiri dari 10 orang itu berebut memberikan penilaian terhadap target mingguan teman-temannya.

Suasana makin heboh karena ada seorang murid yang tidak terima dengan penilaian teman-temannya.
Adu argumentasi pun terjadi. Sang guru dengan berbagai jurus pendekatan, mencoba memberi penjelasan kepada si murid kenapa ia tidak mencapai target untuk ”tidak memancing perhatian teman-teman di kelas”. Tetapi, si murid tetap bersikeras tidak melakukan hal-hal yang memancing perhatian. Bahwa perbuatan membuka diari sebelum waktunya tidak membuat teman-temannya mengalihkan perhatian kepadanya. Akhirnya adu argumentasi diakhiri, dan kata sepakat didapati. Si murid dianggap tetap dinilai mencapai target, tetapi diminta untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.

Begitulah keseharian yang dihadapi Untung S. Drazat. Murid-murid yang dihadapi guru kelahiran Cirebon itu memang bukan seperti umumnya anak-anak lain. Mereka adalah anak-anak yang mengalami kesulitan belajar atau learning disablitities (LD) karena mengalami dyslexia, dysgraphia, dan dyscalculia, menyandang attention deficit disorders (ADD) atau attention deficit hyperactivitiy disorders (ADHD), dan autisme.

MENGABDI DEMI ANAK-ANAK ISTIMEWA



[dikutip dari Rubrik PROFESI, Koran Tempo Minggu, 3 Juni 2007]
Oleh Efri Ritonga

Tantangannya adalah menarik keluar potensi
anak-anak yang memiliki kesulitan belajar.

Di sebuah ruang serbaguna yang tak seberapa luas, delapan orang murid kelas I dan II Sekolah Dasar Pantara sedang berlatih menyanyikan lagu Burung Hantu. Mereka dibimbing dua orang guru dan dua pemain musik. ”Kami berlatih untuk acara perpisahan murid kelas VI,” kata Untung Sudrajat, Kepala SD Pantara, Kebayoran Baru Jakarta, Kamis (31/5/2007) lalu.

Dilihat
sepintas tidak ada yang aneh pada anak-anak lucu itu. Tapi, setelah beberapa lama, anggota kelompok olah vokal amatiran ini mulai berserakan. Dua orang anak, yang segera diikuti anak-anak lainnya, berlari keluar dari barisan dan bermain di salah satu sudut ruangan. Sebentar-sebentar, Untung dan rekan-rekannya meminta mereka kembali ke tempat masing-masing.